Mediaumat.id – Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak mengatakan skema pembiayaan haji saat ini tidak sepenuhnya sama dengan skema ponzi meskipun ada kemiripan.
“Apakah pembiayaan ibadah haji saat ini sama dengan skema ponzi. Jawabannya tidak sepenuhnya sama meskipun ada kemiripan,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Kamis (2/2/2023).
Ishak menilai, investasi dengan skema ponzi adalah bentuk penipuan investasi, pelaku menjanjikan keuntungan besar dan tidak realistis kepada investor dengan menggunakan uang investor baru untuk membayar keuntungan bagi investor lama.
Menurut Ishak, yang membedakan skema ponzi dengan dana haji adalah pada penerimaan investasi. Penerimaan investasi skema ponzi itu mengalir ke pengelola investasi, sementara pada dana haji hal itu tidak terjadi.
Sedangkan kemiripannya kata Ishak adalah, biaya jamaah haji yang berangkat sebagian dibiayai oleh jamaah dan sebagian lagi disubsidi yang berasal dari pendapatan investasi akumulasi setoran jamaah yang selama ini masih dalam daftar tunggu.
Ia menuturkan, tahun lalu 40 persen biaya haji dari Rp 98,4 juta ditanggung oleh jamaah atau Rp 39,8 juta dari biaya haji ditanggung oleh jamaah. Sedangkan sisanya sebesar 59,5 persen atau sebesar Rp 58,4 berasal dari pendapatan investasi dana haji.
Ishak mengungkapkan, setiap jamaah haji yang mendaftar harus melakukan setoran awal sebesar Rp 25 juta untuk mendapatkan nomor registrasi calon haji. Sementara itu, jumlah jamaah yang berangkat setiap tahun, hanya sekitar 200 ribu orang, lebih sedikit daripada jumlah yang mendaftar, yang saat ini mencapai 5,27 juta orang. Akibatnya, jumlah jamaah yang mengantri setiap tahun meningkat.
Kemudian dana setoran calon jamaah haji tersebut dikelola oleh Badan Pengelola Ibadah Haji (BPIH). Oleh BPIH dana ini diinvestasikan ke berbagai portofolio, seperti deposito bank, sukuk, dan reksadana. Pendapatan dari investasi inilah yang disebut nilai manfaat investasi.
Dan pada tahun 2021, pendapatan dalam bentuk nilai manfaat tersebut mencapai Rp 9,8 triliun. Sebagian dari pendapatan ini kemudian didistribusikan kepada para jamaah yang mau berangkat. “Inilah yang diklaim pemerintah sebagai subsidi,” ucapnya.
Persoalan Dana
Ishak melihat, persoalan dana haji ini terjadi akibat sebagian komponen biaya haji berubah-ubah, khususnya inflasi, kurs rupiah, dan harga bahan bakar pesawat. Kondisi ini tidak perlu terjadi kalau pemerintah mengadopsi mata uang emas dan perak seperti yang diatur di dalam Islam.
Karena itu, semestinya setoran jamaah dalam bentuk emas, sehingga mampu menyerap risiko inflasi dan perubahan nilai tukar, serta perubahan harga minyak mentah. “Secara historis kenaikan harga emas cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan harga minyak mentah,” beber Ishak.
Masalah Fundamental
Ishak menilai, masalah fundamental lain dari pengelolaan dana haji itu terletak pada waktu tunggu yang lama. Hal itu diakibatkan jamaah yang berangkat jauh lebih sedikit dibandingkan jamaah yang mendaftar.
Pada tahun 2019 sebelum pandemi, jumlah pendaftar baru mencapai 732 ribu orang, sementara kuota pemberangkatan hanya 218 ribu orang. Dengan gap sangat besar tersebut, maka jumlah daftar tunggu yang sekarang mencapai 5 juta orang lebih akan terus bertambah. Sehingga daftar tunggu menjadi lebih lama lagi. Ia mencontohkan, di Kabupaten Sidrap waktu tunggunya mencapai 94 tahun. “Inikan sudah tidak rasional,” tegasnya.
Terakhir Ishak menyebut solusi masalah ini adalah memperbesar kuota Indonesia. Untuk memperbesar kuota tersebut maka kapasitas tampung pelaksanaan ibadah haji di Arab Saudi harus diperbesar. Sayangnya, Pemerintah Arab Saudi tidak memiliki political will yang kuat untuk memperbesar kapasitas tersebut.
Di sekitar Masjidil Haram semestinya bisa diperluas, misalnya dengan menerapkan konsep ruang terbuka yang lebih luas dan ditunjang dengan payung-payung raksasa seperti di Madinah yang dilengkapi dengan pendingin, di samping perbaikan sarana transportasi seperti monorel dan LRT. dengan demikian, daya tampungnya bisa ditingkatkan menjadi hingga 10 juta.
“Dengan demikian, kuota haji akan jauh lebih banyak dibandingkan tahun 2019 yang hanya sebesar 2,4 juta,” pungkasnya.[] Agung Sumartono