Pembentukan UU Didominasi Kepentingan Oligarki, Peneliti: Satu Keniscayaan

Mediaumat.id – Merespons pernyataan Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti yang menyebut pembentukan undang-undang di rezim Jokowi selama tiga tahun terakhir didominasi kepentingan oligarki, Peneliti Indonesia Justice Monitor (IJM) Luthfi Afandi mengatakan itu satu keniscayaan.

“Dalam sistem politik demokrasi, masuknya berbagai macam kepentingan oligarki dalam pembuatan undang-undang itu merupakan satu keniscayaan,” tuturnya di Kabar Petang: Oligarki Paripurna Tercipta di Era Jokowi? melalui kanal YouTube Khilafah News, Kamis (10/11/2022).

Sistem politik demokrasi menjadikan para politisi dan para penguasa di satu sisi serta pengusaha di sisi lain saling berkelindan. “Mereka saling membutuhkan satu sama lain, simbiosis mutualisme. Para politisi serta para penguasa membutuhkan dukungan finansial, dukungan logistik untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan mereka. Sementara para pengusaha membutuhkan dukungan kekuasaan untuk mempertahankan dan membesarkan bisnis mereka,” jelasnya.

Menurut Luthfi, banyak rancangan undang-undang atau undang-undang yang ditolak masyarakat tapi tetap disahkan. Ia menduga ini demi kepentingan oligarki. “Mereka mengusulkan rancangan undang-undang, menyusun rancangan undang-undang, kemudian proses berikutnya pengesahan. Itu atas dasar kepentingan dan keinginan oligarki,” terangnya.

Sarang Oligarki

Partai politik yang ada hari ini, kata Luthfi, merupakan sarangnya para oligarki pemilik modal besar. “Mereka menguasai partai politik karena berbagai macam keputusan penting menyangkut nasibnya ditentukan oleh partai politik,” tegasnya.

“Jadi kenapa kemudian oligarki itu punya kepentingan terhadap partai politik? Karena partai politik ini luar biasa pengaruhnya. Diberikan kewenangan menentukan berbagai macam arah, terutama para legislatornya,” tambahnya.

Terkait peran parpol lain, Luthfi mengatakan, penentuan calon anggota dewan tingkat daerah sampai pusat itu tidak mungkin kalau tanpa peran partai politik. “Penentuan siapa yang menjadi wali kota siapa yang menjadi bupati siapa yang menjadi gubernur siapa yang jadi presiden semuanya pasti melibatkan partai politik,” bebernya.

Karena itu, lanjutnya, partai politik dalam sistem demokrasi itu tidak pernah bisa dilepaskan dari kehadiran dan pengaruh dari oligarki. Partai politik itu pasti akan selalu dimanfaatkan oleh oligarki untuk mencapai tujuan-tujuan politik mereka dan tujuan-tujuan ekonomi mereka.

Luthfi menilai, pengaruh dan intervensi oligarki terhadap partai politik ini sangat buruk karena berbagai macam kebijakan regulasi dan penentuan para penguasa mulai dari level daerah sampai presiden harus sejalan dengan kepentingan dari oligarki.

“Jika demikian maka kepentingan rakyat hampir pasti diabaikan. Lebih parah lagi pasti akan dikorbankan. Rakyat hanya jadi alat legitimasi, disebut-sebut ketika kampanye tetapi ketika sudah berjalan proses politik, rakyat akan ditinggalkan dan yang diuntungkan oligarki. Itu yang menyebabkan karut-marutnya berbagai macam problem negeri terutama di Indonesia di antaranya karena hal tersebut,” jelasnya.

Dalam kaitan pencalonan presiden, jelas Luthfi, Indonesia masih mengenal presidential threshold yaitu penentuan seseorang bisa maju menjadi calon presiden jika didukung minimal 20 persen. Artinya hanya orang tertentu yang didukung partai politik yang notabene oligarki yang bisa menjadi calon.

“Siapa pun nanti presiden yang terpilih pasti adalah presiden yang dikehendaki oligarki, tidak mungkin tidak, karena dari mulai proses rekrutmennya saja harus melalui partai politik yang dalam partai politik itulah sarangnya oligarki,” tandasnya.

Demikian pun dalam produk undang-undang, dirancang dan disahkan karena pesanan oligarki. “UU Omnibus Law, UU Minerba, UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), juga UU IKN semua untuk memanjakan para pengusaha,” bebernya.

Menurut Luthfi, selama para pengambil kebijakan dikuasai dan dikontrol oleh oligarki jangan harap cita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang adil makmur itu akan terwujud. Rakyat semakin sengsara sementara oligarki semakin kaya raya, semakin sejahtera.

“Efek berikutnya terjadi jurang pemisah yang lebar antara orang kaya dan orang miskin. Ini akan memunculkan potensi konflik,” imbuhnya.

Ganti Sistem

Menurut Luthfi, hal lain yang tak kalah penting dalam membawa kehancuran bangsa adalah sistem apa yang diterapkan. “Sistem politik yang diterapkan adalah sistem sekuler sementara sistem ekonominya ekonomi kapitalis. Tidak pernah ada dalam sejarah sistem ekonomi kapitalis itu punya dampak menyejahterakan rakyat, kecuali hanya menyejahterakan para elite saja,” tukasnya.

Jadi, lanjutnya, selama sistem yang diterapkan itu masih demokrasi sekuler, sistem ekonomi yang diterapkan itu masih sistem ekonomi kapitalis maka kehancuran sebuah bangsa itu tidak bisa dihindarkan. Itu bahayanya.

Untuk bisa keluar dari kebahayaan ini, menurut Luthfi, ada dua yang harus dilakukan. Pertama, harus menyingkirkan terlebih dahulu ideologi sekuler beserta turunannya berupa sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis. “Ini harus disingkarkan,” tegasnya.

Kedua, mengganti dengan ideologi yang menjamin kebaikan, sistem yang menjamin kemaslahatan buat masyarakat yang sudah teruji. “Hanya ideologi dan sistem Islam dengan berbagai macam perangkatnya, politik, ekonomi, sosial dan seterusnya yang akan mampu membawa sebuah masyarakat dan bangsa menjadi masyarakat yang makmur, masyarakat yang sejahtera, masyarakat yang penuh kebaikan dan keberkahan,” yakinnya.

Menurutnya, ketika Islam diterapkan secara kaffah dalam naungan khilafah akan membawa masyarakat menuju kebaikan. “Terlebih sistem Islam berasal dari Allah SWT yang jaminan kebaikannya pasti,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Share artikel ini: