Mediaumat.id – Terkait pembentukan Komite Khilafah (Comite Chilafat) oleh para ulama dan tokoh Muslim di Hindia Belanda (Nusantara) setelah keruntuhan Khilafah Utsmani pada 3 Maret 1924, Sejarawan sekaligus Direktur Institut Literasi Khilafah dan Indonesia (ILKI) Septian AW mengatakan begini.
“Berdirinya Komite Khilafah menjadi bukti keseriusan mereka untuk mengurusi permasalahan Khilafah,” sebutnya dalam Kelas Rajab One Day: Respon dan Gagasan Ulama Hindia-Belanda Tentang Khilafah, Kamis (3/3/2022) via Zoom Meeting.
Penting diketahui, mereka dimaksud ialah para ulama serta tokoh pergerakan Muslim Nusantara, termasuk H. Fakhruddin (1890-1929), yang mengusulkan untuk mendirikan Komite Khilafah (Comite Chilafat) pada pertemuan di Genteng, sebuah kecamatan di Surabaya pada 4-5 Oktober 1924 yang akan mengurusi segala hal berkaitan dengan perjuangan Khilafah di Hindia Belanda.
Di samping itu, Komite Khilafah dibentuk sebagai respons akan diselenggarakannya kembali Kongres Khilafah lanjutan di Kairo, setelah setahun diselenggarakan kongres pertama pada 24 Maret 1924 yang memutuskan perlunya mengumpulkan segenap perwakilan umat Islam di berbagai belahan dunia untuk menyelesaikan persoalan Khilafah ini.
Tak berhenti di situ. Sebagai wujud perjuangan masif di penjuru daerah, Komite Khilafah, lanjut Septian, juga membentuk komite cabang dengan susunan kepengurusan pusat sebagai berikut,
Ketua: Wondo Soedirjo; Wakil Ketua: KH Abdul Wahab Hasbullah; Sekretaris: AM Sangadji dan SB Balimerti; Bendahara: Sech M Aboed Alamoedi; Anggota: Said Idroes Almansjhoer, KH Mas Mansur, H Hassan Gipo, Mansoer Jamani, H Noerscham, H Abdullah Hakim, H Abdulmanan, H Brahim, Oerip Njamploengan, R Achmad, H Machsoedi, Saleh bin Achmad, Oemar Hoobis, dan H Bahri.
“Kepengurusan cabang Komite Khilafah muncul di beberapa kota seperti Yogyakarta, Pekalongan, Babat, Cirebon, Pasuruan, Menes, Buitenzorg, Jampangkulon, Cianjur, Amboin, Banjarmasin, Batavia, Temanggung, dll.,” ungkapnya.
Kongres Luar Biasa
Bahkan, antusiasme juga datang dari Kongres Al-Islam Surabaya. “Pada awalnya Kongres Al-Islam diadakan dua tahunan, namun untuk yang ketiga diadakan di tahun yang sama 1924,” bebernya.
“Mereka menyebutnya Kongres Al-Islam Luar Biasa, (karena) ada penekanan pada kepentingan untuk segera membahas permasalahan Khilafah ini,” tambahnya.
Sekadar diketahui, kongres yang diadakan pada tanggal 24-27 Desember 1924 di Surabaya itu, ternyata dihadiri oleh peserta dengan jumlah yang lebih besar, berikut 68 organisasi Islam yang mewakili pimpinan pusat maupun cabang.
Namun setidaknya, kata Septian, dari kongres tersebut dihasilkan tiga keputusan. Pertama, wajib hukumnya terlibat dalam perjuangan Khilafah. Kedua, sepakat akan terus mendirikan Komite Khilafah di seluruh Indonesia. Ketiga, mengirimkan tiga utusan sebagai wakil umat Islam di Indonesia ke Kongres Kairo dengan enam butir mandat yang telah disepakati.
“Tiga orang utusan tersebut adalah Surjopranoto dari Sarekat Islam, H Fakhruddin dari Muhammadiyah dan KH. Abdul Wahab Hasbullah dari kalangan tradisional (cikal bakal NU),” terangnya sembari menyampaikan 6 butir mandat sebagai berikut:
- Hendaklah berdiri satu Majelis Khilafah yang melakukan kekuasaan dan kewajiban Khalifah dengan semata-mata menurut dan mengingat hukum-hukum dan perintah-perintah Islam di dalam Al-Quran dan Hadits dengan laku yang sepadan dengan tiap-tiap zaman.
- Kepala majelis mengatur, menjaga atau mengikhtiarkan berlakunya keputusan-keputusan majelis itu. Jikalau perlu memakai perbantuan bagi pekerjaan-pekerjaan itu, maka orang-orang pembantu itu hendaklah ditetapkan dengan pilihan atau angkatan majelis itu. Kepala majelis itulah yang memegang kebesaran khalifah bagi segala muamalah keluar.
- Kepala majelis itu dipilih oleh majelis dengan mengingat syarat-syarat syariah yang dapat sepakat atasnya di dalam permusyawaratan Khilafah. Kemudian pemilihan itu diberitahukan akan guna memperoleh pengakuan yang nyata daripada segala bangsa Islam di dunia.
- Majelis Khilafah mengikhtiarkan persetujuan (perdamaian) dalam paham dan peraturan bagi segala perkara hukum Islam. Maka wajiblah diusahakan dan diikhtiarkan memperdapat peraturan-peraturan itu dalam tiap negeri Islam dan tiap-tiap golongan orang Islam di bumi dengan jalan dan ikhtiar yang tidak menjatuhkan umat Islam dalam tiap-tiap negeri itu dalam kerusakan.
- Akan tempat Majelis Khilafah itu, cita-cita umat Islam Hindia Timur hendaklah di Makkah, itupun dalam perkara ini utusan-utusan kita hendaklah berpedanan kepada pemandangan-pemandangan dan pertimbangan-pertimbangan yang dibawa oleh utusan-utusan bangsa Islam yang lain-lain tentang tempat yang sebaik-baiknya untuk keperluan pekerjaan Khilafah itu.
- Tentang biaya bagi Majelis Khilafah dan kepalanya dan untuk pekerjaannya, belumlah umat Islam Hindia Timur dapat menentukan sikap atau pendirian, melainkan hendaklah utusan-utusan kita, jika perlu, mengemukakan dan mendengarkan dan turut memperbincangkan masalah ini, agar supaya dapat paham yang sepakat atas hal ini, yang akan dijadikan pokok musyawarah dan usaha pada sepulangnya utusan-utusan kita kemari.[] Zainul Krian