Mediaumat.id- Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadjdi menilai pembakaran Al-Qur’an yang terjadi lagi di Swedia menunjukkan kebobrokan dari liberalisme.
“Ini menunjukkan kebobrokan liberalisme,” ungkapnya dalam acara Menjadi Politisi Islam: Pembakaran Al-Qur’an, Kenapa Berulang? di kanal YouTube Peradaban Islam ID, Senin (3/7/2023).
Menurutnya, karena ide liberalisme itulah mereka kemudian melegalkan kejahatan-kejahatan mereka.
Peristiwa itu juga menunjukkan islamofobia yang sangat akut, apalagi pembakaran tersebut dilindungi oleh kepolisian Swedia.
Karena itu, sebagai seorang Muslim harus mengecam pembakaran Al-Qur’an itu. “Siapa pun kaum Muslim harus bicara, paling tidak dengan bicaranya kaum Muslim yang mengecam pembakaran ini, menunjukkan posisi kita itu ada di mana di hadapan Allah SWT,” jelasnya.
“Apakah kita berada pada posisi yang membiarkan ketika Al-Qur’an yang mulia dihina, atau kita dalam posisi yang seharusnya menjadi posisi seorang Muslim, yaitu marah ketika ada penghinaan terhadap Al-Qur’an,” tambahnya menegaskan.
Baca juga: Pembakaran Al-Qur’an Kembali Terulang, UIY Paparkan Sikap Muslim Seharusnya
Status Penghina Al-Qur’an
Lebih lanjut, Farid menjelaskan, dalam konteks negara Islam (khilafah), status bagi orang yang menghina Al-Qur’an, melemparkannya ke dalam kotoran, atau mendustakan suatu hukum atau berita yang dibawa Al-Qur’an atau meragukan sesuatu sedangkan dia telah mengetahuinya, maka dia telah kafir.
Hukumannya adalah hukuman mati. Tak terkecuali bagi ahlu dzimmah (warga negara khilafah yang non-Muslim), karena ahlu dzimmah posisinya itu sama di depan hukum Islam dalam negara yang didasarkan Islam.
Adapun, lanjut Farid, ketika yang melakukan itu adalah bukan warga negara Islam, maka itu merupakan bentuk deklarasi perang terhadap negara Islam (khilafah).
“Negara khilafah itu akan memberikan pelajaran kepada negara-negara lain yang menghina Islam,” pungkasnya.[] Ade Sunandar