Pembaharu Abad ini al-‘Alim al-Jalil Taqiyuddin an-Nabhani

 Pembaharu Abad ini al-‘Alim al-Jalil Taqiyuddin an-Nabhani

Soal:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Saya memohon kepada Allah agar membukakan kemenangan melalui kedua tangan Anda, dan Dia adalah pelindung yang demikian dan Maha Kuasa atasnya. Pertanyaan saya tentang mafhum pembaharuan (at-tajdîd) yang dinyatakan di dalam hadis Rasul saw:

«إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ عَلَى رَأْسِ كُلِّ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ دِيْنَهَا»

“Sesungguhnya Allah mengutus pada penghujung setiap seratus tahun orang yang memperbaharui untuk ummat ini agamanya”.

Atau seperti yang Rasul sabdakan. Dan jika pembaharu abad ini adalah al-‘alim al-jalil Taqiyuddin an-Nabhani, lalu apakah pembaharuan itu terhenti dengan wafatnya beliau, rahimahullâh, atau bahwa pembaharuan itu masih tetap ada dengan adanya Hizb yang mengusung pemikiran beliau? Dan semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda, dan semoga Allah memberi Anda balasan yang lebih baik.

[Mohammad Mohammad]

Jawab:

Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Pertama: hadis yang Anda tanyakan adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan-nya dan yang lain  dari Abu Hurairah dari Rasulullah saw, beliau bersabda:

«إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا»

“Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada penghujung setip seratus tahun orang yang memperbaharuhi untuk ummat agamanya”.

Hadis ini harus dipahami dalam kerangka pemahaman syar’iy yang dakui di dalam al-Kitab dan as-Sunnah. Dan berikut sebagian dari hal itu:

1- Bersama dengan turunnya firman Allah SWT:

﴿الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (TQS al-Maidah [5]: 3).

Agama sudah sempurna, nikmati sudah dicukupkan dan perkara sudah stabil. Kemudian setelah itu wahyu terputus dengan wafatnya Nabi saw. Karenanya, agama pada zatnya dengan sifatnya sebagai wahyu dari Allah SWT telah sempurna dengan sempurnanya wahyu. Di dalamnya tidak ada ruang untuk penambahan atau pengurangan. Agama ini ya itu itu juga selama tetap berdiri sejak Rasul saw menyempurnakan penyampaikannya sampai Allah mewarisi bumi dan orang yang ada di atasnya … Perkara ini sudah tertanam di benak kaum Muslim dan jiwa mereka. Itu termasuk hakikat islami yang tak terbantahkan.

2- Oleh karena itu, tidak mungkin bahwa yang diinginkan dengan hadis yang mulia “man judaddidu lahâ dînahâ -orang yang memperbaharui untuk umat agamanya- adalah pembaharuan agama itu sendiri dengan menambahkan sesuatu padanya atau mengurangi sesuatu darinya, atau mengkhususkan keumumannya atau membatasi kemutlakannya … dsb. Sebab dengan terputusnya wahyu maka telah tertutup pintu penambahan kepada agama atau penasakhan darinya atau pengkhususan atau pembatasan … dsb, yang mana tidak ada ruang secara syar’iy untuk mencapai hal itu kecuali dengan wahyu sebab agama pada hakikatnya adalah wahyu, yakni apa yang diwahyukan kepada Nabi saw. Selama tidak mungkin pembaharuan itu adalah pada agama itu sendiri, maka pembaharuan itu harus dialihkan kepada perkara lain selain itu.

3- Islam adalah ideologi, yakni akidah yang darinya terpancar sistem. Jadi Islam adalah sekumpulan pemikiran dan hukum, dan itu diambil semuanya dari al-Kitab dan as-Sunnah serta apa yang ditunjukkan kepadanya oleh al-Kitab dan as-Sunnah berupa Ijmak Shahabat dan Qiyas. Ijmak Shahabat dan Qiyas, keduanya merujuk kepada al-Kitab dan as-Sunnah … Dan karena tidak terbayangkan adanya pembaharuan secara syar’iy pada pemikiran Islam dan hukum-hukumnya itu sendiri, maka pembaharuan itu harus pada perkara yang memiliki hubungan dengannya yakni berhubungan dengan pemikiran dan hukum-hukum Islam. Dan dengan mendalami perkara tersebut, maka tampak bahwa di sana ada dua pihak mendasar berkaitan dengan pemikiran Islam dan hukum-hukumnya, dan keduanya datang dari sisi pemahaman dan aspek-aspek implementasi … yakni aspek kemanusiaan yang berkaitan dengan Islam. Jadi kaum Muslim lah yang memahami Islam dan menerapkannya. Pemahaman mereka tentang Islam dan penerapannya mungkin kabur, ambigu, cacat, ada kesalahan atau terjadi kekurangan… Pemahaman mereka atau pemahaman sebagian dari mereka tentang Islam mungkin terdistorsi, sehingga kepada Islam ditambahkan apa yang bukan bagian darinya sementara mereka mengira itu bagian darinya, atau mengurangi sesuatu dari Islam sehingga mereka tidak memperhatikannya padahal itu bagian dari agama…

4- Begitulah, kadang-kadang terhadap pemahaman kaum Muslim untuk Islam dan penerapan mereka untuk Islam terjadi perkara-perkara yang tidak selaras dengan Islam. Hal itu semisal:

a- Menjadikan sesuatu sebagai bagian dari Islam padahal bukan bagian dari Islam, atau mengurangi sesuatu dari Islam padahal itu merupakan bagian dari Islam. Dan bid’ah terderivasi di bawah hal itu.

b- Ketidakjelasan atau kebingungan dalam memahami Islam sebagai ideologi dan sistem kehidupan, atau dalam memahami sebagian pemikiran Islam atau sebagian hukum Islam.

c- Kesalahan penerapan Islam secara individu atau kolektif atau oleh penguasa. Atau mencampurkan Islam dengan yang lain dalam penerapan.

5- Agar pemahaman agama atau penerapannya kembali kepada apa yang seharusnya sesuai dengan wahyu, yaitu agar pemahaman agama oleh kaum Muslim atau penerapan mereka untuk Islam itu sesuai dengan pemikiran dan hukum Islam tanpa distorsi, cacat, penambahan, kekurangan, penyalahgunaan … dll., maka Allah SWT mempekerjakan dari kaum Muslim pada setiap penghujung seratus tahun, seseorang yang bekerja untuk memperbaharui agama, yaitu mengembalikan agama ke bentuknya sebelumnya berupa kejernihan, kemurnian dan kejelasan, atau penerapan yang benar yang tidak ternoda oleh kesalahan atau campuran … Yakni, dia mengembalikan pemahaman atau penerapan agama kepada keadaan awalnya pada saat diutusnya Nabi saw, dengan kejernihan, kesucian, dan kejelasannya. Jadi ia menghilangkan dari agama apa yang mungkin dilekatkan padanya di antara apa yang bukan bagian darinya, dan menonjolkan pemikiran dan hukum-hukumnya yang mungkin telah disembunyikan, dan menjelaskan apa yang mungkin telah ditimpa kekaburan dalam pemahaman, dan dia bekerja untuk menerapkannya sepenuhnya dan selengkapnya jika dia termasuk penguasa … Pemilihan lafal yujaddidu (memperbaharui) untuk menyifati apa yang terjadi, hal itu memiliki dalalah yang mengungkapkan, sebab hal itu tidak berarti mendatangkan hal baru tetapi berarti membuat sesuatu menjadi baru lagi yakni mnegembalikannya kepada keadaanya pada awal perkaranya. Berbagai mu’jam (ensiklopedia) bahasa menjelaskan makna jaddada (memperbaharui) sebagai berikut: Al-Qâmûs al-Muhîth: “jadda yajiddu maka dia jadîdun (baru), wa ajaddahu wa jaddadahu wa istajaddahu: shayyarahu jadîdan fatajaddada (membuatnya baru sehingga dia menjadi baru)”. Ash-Shihâh fî al-Lughah: “wa tajaddada asy-syay`u: shâra jadîdan (dia menjadi baru) wa ajaddahu wa istajaddahu wa jaddadahu yakni shayyarahu jadîdan (membuatnya baru)”. Lisân al-‘Arab: “wa ajaddahu wa jaddadahu wa istajaddahu yakni shayyarahu jadîdan (membuatnya baru)”. Jadi lafal yujaddidu di dalam hadis yang mulia ini dengan tepat  memberi makna yang shahih yaitu mengembalikan Islam kepada keadaannya di awal perkaranya, dan tidak berarti mengubah agama dan menggantinya.

6- Para ulama telah membicarakan tentang makna at-tajdîd (pembaharuan) yang dimaksudkan di dalam hadis yang mulia tersebut. Saya kutipkan sebagian yang mereka sebutkan:

Dinyatakan di ‘Awn al-Ma’bûd:

[ … man yujaddidu (orang yang memperbaharui): maf’ûl (obyek) yab’atsu (membangkitkan) “lahâ -untuknya-” yakni umat ini “dînahâ -agamanya-” yakni menjelaskan as-sunnah dari bid’ah, memperbanyak ilmu dan menolong ahli ilmu, mengalahkan pengikut bid’ah dan menghinakan mereka. Mereka berkata; dan dia itu tidak ada kecuali seorang ‘âliman yang mengetahui ilmu-ilmu agama yang zhahir dan batin. Al-Munawi mengatakannya di Fathu al-Qadîr Syarhu Jâmi’ ash-Shaghîr. Al-‘Alqami mengatakan di dalam Syarhu-nya, makna at-tajdîd (pembaharuan) adalah menghidupkan apa yang sudah terhapus berupa beramal dengan al-Kitab dan as-Sunnah dan perintah dengan tuntutannya …

Dari yang disebutkan sebelumnya diketahui bahwa yang dimaksudkan dari at-tajdîd adalah menghidupkan apa yang telah terhapus berupa beramal dengan al-Kitab dan as-Sunnah dan perintah dengan tuntutannya dan mematikan apa yang muncul berupa bid’ah dan perkara-perkara baru yang diada-adakan (al-muhdatsât). Dia berkata di Majâlis al-Abrâr: yang dimaksudkan dari tajdîduddîn (pembaharuan agama) untuk umat adalah menghidupkan apa yang telah terhapus berupa beramal dengan al-Kitab dan as-Sunnah dan perintah dengan tuntutannya. Dia berkata di dalamnya: dan pembaharu (al-mujaddid) itu tidak diketahui kecuali dengan dugaan kuat (ghalabah azh-zhann) dari para ulama yang semasa dengannya melalui indikasi-indikasi keadaan dan pemanfaatan ilmunya, sebab pembaharu untuk agama haruslah seorang ‘alim dengan ilmu-ilmu keagamaan yang zhahir dan batin, menolonmg as-sunnah, membungkam bid’ah, dan ilmunya meliputi penduduk zamannya. Melainkan pembaharuan itu pada penghujung setiap seratus tahun karena di dalamnya pada galibnya para ulama wafat, as-sunnah terhapus dan muncul bid’ah, sehingga memerlukan kepada pembaharuan agama. Maka Allah mendatangkan orang di antara makhluk-Nya dengan imbalan generasi terdahulu (as-salafu), adakalanya satu orang atau beberapa orang, selesai.  Al-Qari berkata di dalam Mirqâtu: yakni menjelaskan as-sunnah dari bid’ah, memperbanyak ilmu, memuliakan ahlu ilmi, membungkam bid’ah dan mengalahkan penguikut bid’ah, selesai.

Jadi tampak bahwa seorang pembaharu (al-mujaddid) tidak ada kecuali dia seorang alim yang mengetahui ilmu-ilmu agama, dan seiring dengan itu dia orang yang tekad dan semangatnya sepanjang malam dan siang adalah menghidupkan sunnah dan menyebarkannya, serta menolong pengikutnya dan mematikan bid’ah dan perkara-perkara baru yang diada-adakan (al-muhddatsât) dan menghapusnya serta mengalahkan pengikut bid’ah menggunakan lisan atau mengarang buku, mengajar atau yang lainnya. Dan orang yang tidak demikian maka dia bukan seorang pembaharu sama sekali meski dia ‘alim yang mengetahui ilmu-ilmu dan masyhur di antara orang-orang dan menjadi tempat rujukan mereka…].

Dinyatakan di Misykâtu al-Mashâbîh dengan syarahnya Mir’âtu al-Mafâtîh:

[ … “man yujaddidu -memperbaharui-” adalah obyek dari yab’atsu (membangkitkan) “lahâ ­-untuknya-” yakni untuk ummat ini “dînahâ –agamanya-” yang dimaksudkan dari pembaharuan agama untuk ummat adalah menghidupkan apa yang telah terhapus berupa beramal dengan al-Kitab dan as-Sunnah dan perintah dengan tuntutannya, mematikan bid’ah dan perkara baru yang diada-adakan (al-muhdatsât), dan mengalahkan pengikut bid’ah menggunakan lisan atau mengarang buku atau mengajar atau yang lainnya. Dan pembaharu (al-mujaddid) itu tidak diketahui kecuali dengan dugaan kuat (ghalabah azh-zhann) dari para ulama yang semasa dengannya melalui qarinah keadaan dan pemanfaatan ilmunya. Sebab pembaharu untuk agama itu haruslah dia seorang yang ‘alim mengetahui ilmu-ilmu keagamaan yang zhahir dan yang batin, menolong as-sunnah, membungkam bid’ah dan ilmunya meliputi penduduk zamannya. Pembaharuan itu tidak lain pada setiap penghujung seratus tahun karena pupusnya para ulama pada zaman itu pada galibnya, sunah-sunnah terhapus, dan muncul bid’ah-bid’ah, sehingga ketika itu memerlukan pembaharuan agama, maka Allah mendatangkan di antara makhluknya dengan imbalan orang dari generasi terhadaulu (as-salaf), kadang kala satu orang atau banyak orang. Demikian di al-Majâlis al-Abrâr …].

Kedua: berkaitan dengan pembaharu secara umum dan pembaharu abad ke-14 hijriyah maka kami telah menjawab pertanyaan seputar perkara ini pada 23 Juni 2013 sebagai berikut:

[Soal:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Semoga Allah memberkahi Anda dan mempercepat nushrah melalui tangan Anda … dan semoga Allah memberi manfaat kepada kami dengan ilmu Anda.

Diantara hadits-hadits shahih yang masyhur adalah apa yang diriwayatkan oleh Shahabat yang mulia Abu Hurairah ra., dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda:

«إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا»

“Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun orang yang memperbaharui untuk umat agama mereka (HR Abu Dawud no. 4291, Dishahihkan oleh as-Sakhawi di al-Maqâshid al-Hasanah (149) dan al-Albani di as-Silsilah ash-Shahîhah no. 599)

Pertanyaannya adalah: apa makna hadits tersebut? Apakah kata “man“ di dalam hadits tersebut memberi faedah bahwa mujaddid itu individu ataukah jamaah?  Dan apakah mungkin membatasi mereka pada abad ke tujuh?  Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik kepada Anda.

 

Jawab:

Wa ‘alaikum as-salam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Benar, hadits tersebut shahih.  Dan di dalamnya ada lima masalah:

  1. Dari tahun mana dimulai abad itu? Apakah dari kelahiran Rasul saw, atau dari tahun beliau diutus, atau dari hijrah, atau dari wafatnya beliau saw?
  2. Apakah “ra’su kulli mi`ah ­-penghujung setiap seratus tahun-“ berarti awal setiap seratus (setiap satu abad), atau sepanjang tiap satu abad, atau pada penghujung tiap satu abad?
  3. Apakah kata “man“ berarti satu orang, atau berarti jamaah yang memperbaharui untuk manusia agama mereka?
  4. Apakah ada riwayat yang memiliki sudut pandang shahih tentang hitungan orang-orang mujaddid selama abad-abad lalu?
  5. Apakah mungkin kita mengetahui pada abad ke empat belas yang berakhir pada 30 Dzul Hijjah 1399 siapakah mujaddid untuk masyarakat yang memperbaharui agama mereka?

 

Saya akan berusaha semampu saya untuk menyebutkan yang rajih menurut saya dalam masalah-masalah tersebut tanpa terjun pada point-point perbedaan.  Dan saya katakan dengan taufik dari Allah dan Dia Zat yang memberi petunjuk kepada jalan yang lurus:

  1. Dari tahun berapa dimulai seratus tahun itu?

Al-Munawi di Muqaddimah Fath al-Qadîr mengatakan: “diperselisihkan tentang ra’su al-mi`ah -penghujung seratus tahun- apakah dinilai dari kelahiran Nabi saw, tahun beliau diutus, hijrah atau tahun beliau wafat …”  Dan yang rajih menurutku bahwa penilaian tersebut adalah dari hijrah.  Hijrah itu adalah peristiwa yang dengannya Islam dan kaum Muslimin menjadi mulia dengan tegaknya daulahnya.  Karena itu ketika Umar mengumpulkan para sahabat untuk bersepakat atas awal kalender, mereka bersandar pada hijrah.  Imam ath-Thabari mengeluarkan di Târîkh-nya, ia berkata:

“حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْحَكَمِ، قَالَ: حَدَّثَنَا نُعَيْمُ بْنُ حَمَّادٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا الدَّرَاوَرْدِيُّ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ، قَالَ: سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ، يَقُولُ: جَمَعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ النَّاسَ، فَسَأَلَهُمْ، فَقَالَ: من أي يوم نكتب؟ فقال علي: من يوم هاجر رسول الله صلى الله عليه وسلم، وَتَرَكَ أَرْضَ الشِّرْكِ، فَفَعَلَهُ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.

“Telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Hakam, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Nu’aim bin Hamad, ia berkata: telah menceritakan kepada kami ad-Darawardi dari Utsman bin Ubaidullah bin Abi Rafi’, ia berkata: “aku mendegar Sa’id bin al-Musayyib berkata: “Umar bin al-Khaththab mengumpulkan orang-orang dan menanyai mereka. Umar berkata: “dari hari apa kita tulis?” maka Ali berkata: “dari hari Rasulullah saw hijrah dan beliau meninggalkan bumi kesyirikan”.  Maka Umar ra. melakukannya”.

Abu Ja’far (ath-Thabari) berkata: mereka –para sahabat- menilai tahun hijriyah pertama dari Muharram tahun itu, yakni dua bulan beberapa hari sebelum Rasulullah saw datang ke Madinah karena Rasulullah saw datang di Madinah pada tanggal 12 Rabiul Awal.”

Atas dasar itu, saya merajihkan untuk menghitung tahun-tahun ratusan (abad) berawal dari tahun hijrah yang dijadikan sandaran para sahabat ridhwanullah ‘alayhim.

  1. Sedangkan ra’su al-mi`ah -penghujung seratus- maka yang rajih adalah akhirnya. Yakni bahwa mujaddid itu ada pada akhir abad yaitu seorang yang ‘alim, terkenal, bertakwa dan bersih.  Dan wafatnya pada akhir ratusan itu dan bukan pada pertengahan atau sepanjang abad itu.  Adapun kenapa saya merajihkan hal itu maka itu dikarenakan sebab-sebab berikut:

a. Ditetapkan dengan riwayat-riwayat shahih bahwa mereka menilai Umar bin Abdul ‘Aziz pada penghujung seratus tahun pertama. Beliau wafat pada tahun 101 H, dan usia beliau 40 tahun.  Dan mereka menilai asy-Syafii pada penghujung seratus tahun kedua dan beliau wafat pada tahun 204 H dan usia beliau 54 tahun.  Dan jika diambil penafsiran “ra’s kulli mi`ah sanah -penghujung tiap seratus tahun-” itu selain ini, yakni ditafsirkan awal abad, maka Umar bin Abdul Aziz bukan mujaddid abad pertama sebab beliau dilahirkan tahun 61 H.  Begitu pula asy-Syafii bukan mujaddid abad kedua sebab beliau dilahirkan tahun 150 H.  Ini makna “ra’su kulli mi`ah sanah -penghujung tiap seratus tahun-” yang dinyatakan di dalam hadits tersebut, berarti akhir abad dan bukan awalnya.  Maka mujaddid itu dilahirkan sepanjang abad itu kemudian menjadi seorang yang ‘alim terkenal dan mujaddid pada akhir abad itu dan diwafatkan pada akhir abad itu.

b. Sedangkan dalil bahwa Umar bin Abdul Aziz adalah mujaddid seratus tahun pertama dan asy-Syafii adalah mujaddid seratus tahun kedua adalah apa yang sudah terkenal di tengah para ulama dan para imam umat ini. Az-Zuhri, Ahmad bin Hanbal dan selain keduanya di antara para imam terdahulu dan yang belakangan, mereka telah sepakat bahwa mujaddid abad pertama adalah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah dan pada akhir abad kedua adalah imam asy-Syafii rahimahullah.  Umar bin Abdul Aziz diwafatkan pada tahun 101 dan usianya 40 tahun dan masa khilafah beliau selama dua setengah tahun.  Dan asy-Syafii diwafatkan pada tahun 204 dan usia beliau 54 tahun.  Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam at-Tawâliy at-Ta`sîs mengatakan, “Abu Bakar al-Bazar berkata, “aku mendengar Abdul Malik bin Abdul Humaid al-Maymuni berkata: “aku bersama Ahamd bin Hanbal lalu berlangsung mengingat asy-Syafii lalu aku lihat Ahmad mengangkatnya dan berkata: diriwayatkan dari an-Nabi beliau bersabda:

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُقَيِّضُ فِي رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ

Sesungguhnya Allah membatasi pada penghujung setiap seratus tahun orang yang mengajarkan masyarakat agama mereka”

Ahmad berkata, Umar bin Abdul Aziz pada penghujung abad pertama dan saya berharap asy-Syafii pada abad yang lain (kedua)”.

Dan dari jalur Abu Sa’id al-Firyabi, ia berkata: Ahmad bin Hanbal berkata:

إِنَّ اللَّهَ يُقَيِّضُ لِلنَّاسِ فِي كُلِّ رَأْسِ مِائَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ الناس السنن وينفي عن النبي الْكَذِبَ فَنَظَرْنَا فَإِذَا فِي رَأْسِ الْمِائَةِ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَفِي رَأْسِ الْمِائَتَيْنِ الشَّافِعِيُّ

“Sesungguhnya Allah membatasi untuk masyarakat pada setiap penghujung seratus tahun orang yang mengajarkan masyarakat as-sunan (sunnah-sunnah) dan menafikan kedustaan dari Nabi dan kami melihat pada penghujung seratus tahun pertama adalah Umar bin Abdul Aziz dan pada penghujung seratus tahun kedua adalah asy-Syafi’i”.

 

Ibnu ‘Adi berkata: “aku mendengar Muhammad bin Ali bin al-Husain berkata: “aku mendengar ashhabuna mereka mengatakan, pada seratus tahun pertama adalah Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun kedua Muhammad bin Idris asy-Syafi’i”.

Al-Hakim telah mengeluarkan di Mustadrak-nya dari Abu al-Walid, ia berkata: “aku ada di majelis Abu al-‘Abbas bin Syuraih ketika seorang syaikh (orang tua) berdiri kepadanya memujinya lalu aku mendengar ia berkata: “telah menceritakan kepada kami Abu ath-Thahir al-Khawlani, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahbin, telah memberitahukan kepada kami Sa’id bin Abi Ayyub dari Syarahil bin Yazid dari Abu ‘Alqamah, dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:

«إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا»

“Sesungguhnya Allah mengutus pada penghujung setiap seratus tahun orang yang memperbaharui untuk ummat agamanya”.

Maka bergembiralah wahai al-Qadhi, sesungguhnya Allah mengutus pada penghujung seratus tahun pertama Umar bin Abdul Aziz, dan Allah mengutus pada penghujung seratus tahun kedua Muhammad bin Idris asy-Syafi’i …”.

Al-Hafizh Ibnu hajar mengatakan, ini mengindikasikan bahwa hadits itu masyhur pada masa itu.

c. Dan mungkin dikatakan bahwa ra’su asy-syay`i secara bahasa artinya awalnya. Lalu bagaimana kita merajihkan bahwa ra’su kulli mi`ah sanah adalah akhirnya dan bukan awalnya?  Jawabnya adalah bahwa ra’su asy-syay`i seperti di dalam bahasa adalah awal sesuatu itu dan demikin juga akhirnya.  Ia berkata di Tâj al-‘Arûs: “ra’su asy-syay`i adalah ujungnya dan dikatakan akhirnya”.  Ibnu Manzhur berkata di Lisân al-‘Arab: “kharaja adh-dhabb murâ`isan: biawak itu keluar dari lubangnya dengan kepala lebih dahulu dan ada kalanya dengan ekornya lebih dahulu.  Yakni keluar dengan awal atau akhirnya”.  Atas dasar itu ra’su asy-syay`i seperti yang dinyatakan di dalam bahasa, bermakna awalnya, dan bermakna ujungnya baik awalnya atau akhirnya.  Dan kita memerlukan qarinah yang merajihkan makna yang dimaksud di dalam hadits untuk kata ra’su al-mi`ah apakah awalnya ataukah akhirnya.  Dan qarinah-qarinah ini ada di dalam riwayat-riwayat terdahulu yang menilai Umar bin Abdul Aziz adalah mujaddid seratus tahun pertama dan beliau diwafatkan pada tahun 101 dan penilaian bahwa asy-Syafi’i adalah mujaddid seratus tahun kedua dan beliau diwafatkan pada tahun 204.  Semua itu merajihkan  bahwa makna di dalam hadits tersebut adalah akhir seratus dan bukan awalnya.

Berdasarkan atas semua yang terdahulu itu maka saya merajihkan bahwa makna ra’su kulli mi`ah sanah -penghujung setiap seratus tahun- yang dinyatakan di dalam hadits tersebut adalah akhir setiap seratus tahun.

 

  1. Adapun apakah kata “man” berarti satu orang atau jamaah, maka hadits tersebut diriwayatkan “diutus untuk umat ini …orang yang memperbaharui agama umat”. Seandainya kata “man” menunjukkan pada jamak niscaya fi’lu (kata kerja)-nya jamak yakni “man yujaddidûna, akan tetapi fi’lu disitu dinyatakan mufrâd (tunggal) “yujaddidu”.  Meski bahwa dalalah “man” disitu ada makna jamak juga hingga meskipun setelahnya fi’lun mufrâdun.  Namun saya merajihkan bahwa “man” itu disini untuk mufrâd dengan qarinah fi’lu-nya yaitu yujaddidu. Dan saya katakan, saya rajihkan, sebab dalalah disini dengan mufrâd itu bukanlah qath’iy hingga meski fi’lu setelahnya adalah mufrâd.  Oleh karena itu ada orang yang menafsirkan “man” dengan dalalah jamaah dan mereka menghitung riwayat mereka adalah jamaah ulama pada setiap seratus tahun.  Akan tetapi, itu adalah pendapat yang lebih lemah seperti yang telah kami sebutkan barusan.

Atas dasar itu, maka yang rajih menurut saya bahwa kata “man” menunjukkan satu orang, yakni bahwa mujaddid pada hadits tersebut adalah satu orang ‘alim lagi bertakwa dan bersih …

  1. Adapun hitungan nama-nama para mujaddid pada abad-abad lalu, maka ada riwayat-riwayat dalam hal itu dan yang paling terkenal adalah syair as-Suyuthi dimana ia menghitung untuk sembilan abad dan ia memohon kepada Allah agar menjadi mujaddid yang kesembilan. Saya nukilkan sebagian syair itu:

“فَكَانَ عِنْدَ الْمِائَةِ الْأُولَى عُمَرْ خَلِيفَةُ الْعَدْلِ بِإِجْمَاعٍ وَقَرْ…

وَالشَّافِعِيُّ كَانَ عِنْدَ الثَّانِيَةِ لِمَا لَهُ مِنَ الْعُلُومِ السَّامِيَةِ…

وَالْخَامِسُ الْحَبْرُ هُوَ الْغَزَالِي وَعَدّهُ مَا فِيهِ مِنْ جِدَالِ…

وَالسَّابِعُ الرَّاقِي إلى المراقي بن دَقِيقِ الْعِيدِ بِاتِّفَاقِ…

وَهَذِهِ تَاسِعَةُ الْمِئِينَ قَدْ أَتَتْ وَلَا يُخْلَفُ مَا الْهَادِي وَعَدْ وَقَدْ رَجَوْتُ أَنَّنِي الْمُجَدِّدُ فِيهَا فَفَضْلُ اللَّهِ لَيْسَ يُجْحَدُ…

Pada abad pertama Umar bin Abdul Azis yang adil, menurut ijmak yang kokoh …

Dan asy-Syafii pada abad kedua karena ia memiliki ilmu yang tinggi …

Dan kelima adalah al-habru, dia adalah al-Ghazali dan penghitungan dia di dalamnya ada perdebatan …

Dan ketujuh adalah yang menanjak ke tempat tinggi Ibnu Daqiq al-‘Aid menurut kesepakatan …

Dan abad kesembilan ini sudah datang dan tidak ditinggalkan al-hadi yang telah dihitung dan aku sungguh berharap bahwa aku menjadi mujaddid di dalamnya dan karunia Allah tidak bisa diperbaharui …

 

Ada pendapat-pendapat lain yang terus berlangsung setelah itu.

  1. Dan apakah mungkin kita mengetahui pada abad ke-14 yang berakhir pada 30 Dzul Hijjah 1399 H, siapakah untuk masyarakat mujaddid agama mereka?

Sangat menarik perhatianku apa yang masyhur pada para ulama yang kredibel bahwa penghujung tahun adalah akhirnya.  Dan Umar bin Abdul Aziz dilahirkan pada tahun 61 H dan diwafatkan penghujung abad pertama pada tahun 101 H.  Dan asy-Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H dan diwafatkan pada penghujung abad ke-2 tahun 204 H …

Artinya masing-masing dari keduanya dilahirkan di pertengahan abad dan menjadi terkenal pada akhirnya dan diwafatkan pada akhirnya.  Seperti yang saya katakan, saya merajihkan penafsiran ini dikarenakan sudah terkenal di antara para ulama yang kredibel bahwa Umar bin Abdul Aziz adalah mujaddid pada penghujung abad pertama, dan asy-Syafi’i adalah mujaddid pada penghujung abad kedua.  Berdasarkan hal itu maka saya merajihkan bahwa al-‘allamah Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah adalah mujaddid pada penghujung abad ke-14.  Beliau dilahirkan pada tahun 1332 H dan menjadi terkenal pada akhir abad ke-14 ini, khususnya ketika beliau mendirikan Hizbut Tahrir pada Jumaduts Tsaniyah tahun 1372 H dan beliau diwafatkan pada tahun 1398 H.  Dan dakwah beliau kepada kaum Muslimin kepada qadhiyah mashiriyah (agenda utama hidup mati), melanjutkan kehidupan islami dengan tegaknya daulah al-khilafah ar-rasyidah, memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan umat, kesungguhan dan keseriusan mereka, hingga al-khilafah hari ini menjadi tuntutan umum milik kaum Muslimin.  Maka semoga Allah merahmati Abu Ibrahim, dan semoga Allah SWT merahmati saudara beliau Abu Yusuf setelahnya dan menghimpunkan kedua beliau bersama para nabi, ash-shidiqun, syuhada dan orang-orang shalih dan mereka adalah sebaik-baik teman.

Ini yang saya rajihkan ya akhi Abu Mu`min.  Wallah a’lam bi ash-shawâb wa huwa subhânahu ‘indahu husnu al-ma`âb] selesai Jawaban terdahulu.

Ketiga: adapun mengenai pertanyaan Anda: “jika pembaharu abad ini adalah al-‘alim al-jalil Taqiyyuddin an-Nabhani, lalu apakah itu berakhir dengan wafatnya beliau rahimahullah, atau itu masih terus tegak dengan adanya Hizb yang mengusung pemikiran beliau?). Jawaban hal itu bahwa aktifitas pembaharuan sesuai dengan apa yang telah kami jelaskan di atas dilakukan “oleh satu orang yang ‘alim dan bertakwa …”. dan dengan wafatnya beliau maka berakhir topik pembaharuan. Tetapi hal itu tidak berarti berhentinya pengaruh pembaharuan itu, tetapi pembaharuan itu tetap memiliki pengaruh terhadap kaum Muslim dan generasi mendatang setelah sempurnanya pembaharuan sampai terjadi cacat dalam pemahaman atau penerapan seiring dengan berlalunya waktu sehingga Allah mengutus di akhir abad berikutnya sekali lagi orang yang memperbaharui untuk ummat agama mereka. Jadi menurut hadis tersebut, Allah mengutus di penghujung setiap seratus tahun orang yang memperbaharui untuk ummat agama umat, yakni pada penghujung abad kelima belas menurut apa yang dijelaskan tafsirnya di atas, dengan izin Allah. Wallâh a’lam (Allah lebih mengetahui) siapa yang akan menjadi pembaharu itu …

Ini yang saya rajihkan dalam masalah ini, wallâh a’lam wa ahkam.

 

Sadaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

26 Syawal 1444 H

16 Mei 2023 M

https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/88848.html

https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/796832885337416

 

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *