Pelindung yang Hilang pada Bulan Rajab

Oleh HM ALI MOESLIM

Bismillahirrahmanirrahim

DALAM benak sebagian dari umat Islam jika berbicara bulan Rajab, tentu diingat peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Tentu tidak salah, namun ada peristiwa yang juga penting diingat, namun bukan berarti untuk ditangisi.

Pada bulan ini, tepatnya 29 Rajab 1342 H, atau bersamaan dengan 3 Maret 1924 M, negara imperialis Inggris dengan menggunakan bonekanya, penjahat Kamal at-Taturk, membubarkan Khilafah secara resmi. Itu artinya, sudah lebih 100 tahun (Hijrah) umat Islam tanpa Khalifah, tanpa pemimpin yang melindungi umat Islam. Untuk mengingatkan kembali peristiwa menyedihkan ini.

Betapa penting kedudukan pemimpin atau penguasa (imam) dalam diri umat, kepemimpinan yang syar’i yang senantiasa hadir setelah wafatnya Baginda Rasulullah SAW berjalan selama 13 abad.

Dalam kitab Muhammad Sang Teladan karya Abdurrahman As-Syarqawi dijelaskan, di tengah kepedihan duka di kalangan umat kala itu, terdengar suara yang amat nyaring di telinga Sayyidina Abu Bakar: “Andaikata dia benar-benar Nabi, tentu dia tidak akan mati. Tapi kenyataannya, dia mati,”.

Dengan deraian air mata, Sahabat Abu Bakar berdiri di tengah-tengah kerumunan dan mengingatkan mereka dengan ajaran yang pernah disampaikan Rasulullah SAW, Sahabat Abu Bakar mengutip ayat 30 Surah Az-Zumar:

”اِنَّكَ مَيِّتٌ وَّاِنَّهُمْ مَّيِّتُوْنَ ۖ

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati (pula).

Selanjutnya Sahabat Abu Bakar juga mengutip ayat lainnya yakni dari Surah Ali Imran ayat 144 berbunyi:

وَمَا مُحَمَّدٌ اِلَّا رَسُوْلٌۚ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۗ اَفَا۟ىِٕنْ مَّاتَ اَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلٰٓى اَعْقَابِكُمْ ۗ وَمَنْ يَّنْقَلِبْ عَلٰى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَّضُرَّ اللّٰهَ شَيْـًٔا ۗوَسَيَجْزِى اللّٰهُ الشّٰكِرِيْنَ

“Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa berbalik ke belakang, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun. Allah akan memberi balasan kepada orang yang bersyukur.”

Demi mendengar kutipan ayat ayat Al Qur’an yang disampaikan oleh Sahabat Abu Bakar, Sahabat Umar bin Khattab baru tersadar, dan beliau berkata: “Demi Allah, aku seolah-olah tak pernah mendengar ayat-ayat itu sebelum ini,”. Selanjutnya, Sahabat Umar tersungkur ke tanah dan menumpahkan seluruh kedukaan dan ratapannya sambil berkata: “Nabi Muhammad benar-benar telah wafat”.

Begitulah sikap generasi terbaik Islam, di antaranya sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT;

وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلْأَوَّلُونَ مِنَ ٱلْمُهَٰجِرِينَ وَٱلْأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحْسَٰنٍ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّٰتٍ تَجْرِى تَحْتَهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (QS at Taubah ayat 100)

Begitupula dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (HR al-Bukhari)

Generasi terbaik dan paling mulia dari umat terbaik ini yakni para sahabat, ketika kekasih mereka wafat, mereka tidak segera memakamkan Nabi saw, namun lebih mendahulukan urusan baiat ini hingga berhasil mengangkat Abu Bakar ash-Shiddiq RA dan mereka menyebutnya sebagai Khalifah Rasulillah SAW, Imam al-Khatthabi (w. 388 H) menyatakan:

وَذَلِكَ مِنْ أَدَلِّ الدَّلِيْلِ عَلَى وُجُوْبِ الْخِلاَفَةِ

Yang demikian merupakan dalil yang paling jelas dan tegas tentang kewajiban penegakan Khilafah.

Imam Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H) juga menyatakan:

… بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ

“…bahkan mereka menjadikan hal itu (pengangkatan khalifah) sebagai kewajiban yang terpenting.

Saat ini berkembang pernyataan, apakah boleh mengambil sistem lain di luar Islam yang penting dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan?

Pernyataan kebolehan mengambil sistem yang lain, selain Islam, asal bisa mewujudkan keadilan, kesamaan, kebebasan dan menjaga tanah air, ini merupakan kesimpulan yang dibangun dengan menggunakan Maqashid asy-Syari’ah dan logika mantiq. Padahal baik Maqashid asy-Syari’ah maupun logika mantiq bukanlah dalil, juga bukan ‘illat hukum. Karena itu keduanya tidak bisa digunakan untuk membangun argumentasi.

Kemudian pernyataan negara dalam Islam adalah negara demokratis yang menggunakan konstitusi modern juga keliru. Pasalnya, negara dalam Islam adalah Khilafah. Khilafah adalah sistem pemerintahan yang berbeda dengan negara demokrasi. Pasalnya, kedaulatan di dalam Khilafah ada di tangan syariah, bukan di tangan rakyat.

Selain bukan berasal dari ajaran Islam, demokrasi juga tidak dibangun berdasarkan akidah Islam. Demokrasi dibangun berdasarkan akidah sekularisme, atau pemisahan agama dari kehidupan.

Kemudian, apakah sistem khilafah hanya cocok dan diterima oleh para sahabat Radiyallahu Anhum? Khilafah merupakan hukum syariah, sebagaimana hukum syariah yang lain. Bahkan bukan sembarang hukum, tetapi hukum yang sangat penting. Pasalnya, pada Khilafahlah sebagian hukum-hukum lain bersandar. Keberadaan dan ketiadaannya menyebabkan ada dan tidaknya hukum yang lain. Itulah Khilafah. Bahkan Ibn Asyakir mengutip syair:

“Andai Khilafah hilang, semua kebaikan pasti hilang dari mereka.
Setelah itu mereka pun akan mendapatkan kehinaan.
Mereka akan menjadi seperti orang Yahudi atau Nasrani
Apakah, mereka semuanya sama-sama tersesat jalannya [atau tidak].”

Hilangnya Khilafah sama dengan lenyapnya penerapan hukum syariah.

Wallahu a’lam bishawab

Share artikel ini: