Oleh: H. Indarto Imam, S.Pd.
Cengkeraman penjajahan Kapitalisme sudah demikian menggurita, tantangan dakwah terasa makin jelas. Lantas, apa yang harus dilakukan?
Hal pertama yang penting dilakukan adalah pengokohan sikap bahwa dakwah ini merupakan pilihan dan poros kehidupan. Kita telah memilih dakwah sebagai poros kehidupan. Rasulullah saw. mencontohkan betapa dakwah menjadi poros hidup beliau. Ketika para pembesar Quraisy mendatangi pamannya untuk meminta beliau menghentikan aktivitas dakwah, beliau menyatakan dengan tegas, “Andai mereka dapat meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku menghentikan dakwah ini maka hingga Allah memenangkannya atau aku binasa di jalannya, aku tak akan meninggalkan dakwah ini.” (Ibnu Hisyam, Sîrah Ibnu Hisyam, I/266).
Sejatinya, umat Islam menjadikan dakwah sebagai poros kehidupan mereka. Dengan demikian rintangan, tantangan dan hambatan apapun di jalan dakwah akan disikapi sebagai bunga-bunga perjuangan.
Dakwah sangat urgen dan merupakan kewajiban. Tidak melakukan dakwah berarti meninggalkan kewajiban. Orang yang melakukan dakwah akan terpagari perilakunya. Dakwah akan membentuk diri pelakunya bertambah salih. Dakwah juga sangat urgen dalam membangun keluarga pejuang. Allah SWT memerintahkan kepada umat Nabi Muhammad saw. untuk menjaga diri dan keluarganya dari api neraka (TQS at-Tahrim [66]: 6). Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Rasulullah saw. melakukan dakwah pertama kali kepada istrinya, keponakannya, pembantunya dan kawan terdekatnya. Tanpa dakwah, Islam tidak akan tegak. Rasulullah saw. menyampaikan bahwa bila dakwah tidak dilakukan maka akan turun azab, doa tidak dikabulkan (HR Ahmad, at-Tirmidzi) serta umat dikuasai oleh orang zalim dan buruk (HR Abu Dawud). Berdasarkan hal ini jelas bahwa dakwah merupakan pilar kebaikan individu, keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, menjadikan dakwah sebagai poros kehidupan merupakan suatu keniscayaan.
Dakwah merupakan aktivitas besar untuk membangun peradaban agung. Pada sisi lain, kewajiban menafkahi, mendidik anak, dll pun harus dilakukan. Untuk memadukan hal tersebut diperlukan manajemen aktivitas kehidupan. Bahkan dakwah kadang harus mengerem yang lain untuk kepentingan yang lebih besar.
Tantangan dalam diri pengemban dakwah yang umumnya dirasakan dalam era Kapitalisme saat ini adalah masalah rezeki. Apalagi ketika melihat orang lain yang sebaya sudah banyak yang sukses dan mapan dari segi ekonomi. Anak-anak pun mulai besar sehingga membutuhkan biaya yang semakin besar. Hati kadang ciut. Namun, bagi seorang beriman, hal itu tidak menjadi penghambat dakwah. Mengapa? Sebab, dia meyakini bahwa rezeki itu dari Allah SWT. Dialah Yang memberikan rezeki kepada orang yang Dia kehendaki tanpa ada hitung-hitungan (TQS al-Baqarah [2]: 212; an-Nur [24]: 38). Kita semua tentu pernah mengalami saat rezeki datang tanpa disangka-sangka dan dari arah yang tidak terduga-duga. Tidak jarang, ada pengemban dakwah yang hidupnya biasa-biasa saja, tetapi dia mendapatkan rezeki sehingga bisa haji dan umrah. Ada juga pengemban dakwah kesulitan rumah, tiba-tiba ada yang meminjamkan rumahnya dengan gratis. Memang, ada juga kesulitan. Namun, bukankah Allah SWT telah menggariskan bahwa kesulitan selalu bergandengan dengan kemudahan?
Para Sahabat adalah contoh terbaik dalam hal ini. Salah satu contoh yang jelas adalah saat mereka berhijrah dari Makkah ke Madinah. Mereka tidak tahu kelak akan tinggal dimana, bisa bekerja atau tidak, makan apa, dsb. Namun, dengan dorongan iman dan ketaatan, mereka berangkat meninggalkan kampung halaman, handai taulan dan harta kekayaan. Demi ketaatan kaum Muhajirin rela hidup dalam kefakiran (TQS al-Hasyr [59]: 8). Lalu apa yang terjadi? Perjuangan mereka berbuah manis. Mereka tetap bisa makan, minum dan punya tempat tinggal, bahkan menjadi orang-orang pertama pendukung peradaban Islam di Madinah.
Sudah merupakan sunnatullâh, jalan dakwah itu terjal. Dulu para Sahabat ditimpa kesulitan yang luar biasa, kesempitan, bahaya dan berbagai peristiwa yang mengguncangkan. Begitu beratnya cobaan yang menimpa kaum beriman di jalan dakwah tersebut mereka bertanya kepada Nabi saw., “Kapan pertolongan Allah itu tiba, mata nashrullah?” Allah pun cukup menjawab dengan menyatakan, “Ingatlah, pertolongan Allah itu dekat.” (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 214. Para Sahabat pun bersabar dalam kondisi demikian. Mereka menyadari betul bahwa tidak ada sesuatu pun yang menimpa mereka kecuali hal tersebut terbaik dari Allah SWT bagi mereka sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam surat at-Taubah [9]: 51.
Oleh sebab itu, tidak ada rasa kekhawatiran dalam diri seorang pengemban dakwah mendapatkan perlakuan semena-mena oleh penguasanya, namun tidak berarti juga berlaga sombong menantang datangnya cobaan baginya. Dia berprinsip, “musuh jangan dicari; kalau ada, hadapi, dan kalau ingin selamat, ketika ada kemungkaran, hadapi dan jangan lari.”
Ubahlah pola pikir. Perkokoh keimanan bahwa rezeki dan kematian berasal dari Allah SWT. Sadarlah bahwa dakwah adalah poros kehidupan dan sangat urgen bagi diri, keluarga dan masyarakat. Lalu aktivitas dimenej sedemikian rupa hingga tantangan dakwah apapun akan disikapi secara proporsional. Pikiran pada waktu menghadapi tantangan itu pun tetap jernih. Insya Allah.[]