Pelajaran Dari 212, Ketika Media Telah Berpihak Pada Penguasa

Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si (Koordinator LENTERA, Relawan Opini dan Media)

Selaksa semangat kaffah masih menyelimuti hati para peserta reuni mega besar 212 di Monas (02/12/2018) kemarin. Kendati berbagai media mainstream bungkam. Sinyal telepon seluler berikut internet di kawasan Monas juga sempat lenyap. Namun kabar rangkaian acara akbar pra maupun hari-H reuni 212 telah merayap ke seluruh penjuru dunia.

Umat Islam dari luar negeri seperti Swiss dan Australia bahkan sebelum hari-H banyak yang berencana turut hadir 212. Sementara untuk pemberitaan, tercatat sebuah surat kabar di Palestina, turut memuat berita fenomenal reuni 212. Stasiun televisi nasional yang diketahui menyiarkan acara 212 hanya TV One. Tak pelak, gempita reuni 212 kemarin akhirnya jauh lebih kondusif diikuti di media sosial. Jelas, media sosial nyata-nyata lebih jujur dan tidak memihak. Karena media sosial digerakkan langsung oleh tangan-tangan tulus yang di antara mereka juga menjadi peserta reuni 212 itu sendiri. Ma syaa Allah.

Mencermati hal ini, ada baiknya kita coba mengaitkannya dengan berita tentang Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu, yang baru-baru ini dikabarkan menyuap media. Dikutip dari JawaPos.com (03/12/2018), polisi Israel menduga Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu melakukan penyuapan pada Bezeq, grup telekomunikasi terbesar di Israel dengan imbalan liputan yang lebih positif tentang dia dan istrinya. Pun dilansir dari Al-Jazeera, polisi Israel mengatakan bahwa penyelidikan mereka telah menemukan bukti yang cukup untuk tuduhan penyuapan dan penipuan untuk diajukan terhadap Netanyahu dan istrinya tersebut.

Pihak berwenang menduga Netanyahu memberikan bantuan regulasi kepada Bezeq sebagai imbalan untuk liputan yang lebih positif tentang dirinya dan istrinya di situs berita anak perusahaan Bezeq, Walla. Meski memang Netanyahu membantah melakukan kesalahan tersebut. Namun Jaksa Agung Israel sekarang hendak memutuskan akan membuat dakwaan dalam kasus ini. Jika mendapatkan dakwaan, Netanyahu akan menghadapi salah satu tantangan terbesar bagi kelangsungan karir politiknya.

Kasus Bezeq, yang dikenal sebagai Kasus 4000, adalah yang paling serius dari semua yang telah dituduhkan kepada Netanyahu. Dua orang kepercayaan Netanyahu telah memberikan polisi bukti yang memberatkan. Netanyahu memegang portofolio komunikasi pemerintah hingga tahun lalu. Pihaknya pun turut mengawasi regulasi di lapangan. Ditambah lagi, ternyata ada mantan wartawan di situs berita Walla yang terbukti menerima tekanan agar tidak membuat berita negatif tentang Netanyahu.

Peristiwa yang dialami Netanyahu ini hendaknya membuka mata kita. Bahwa demikianlah pola bagi para penguasa dalam sistem kapitalisme demi menjaga citra diri, keluarga, beserta pemerintahannya. Mereka tak ingin diberitakan buruk, meski memang sebenarnya buruk. Mereka tak hendak dikritik, hingga berdampak represif.

Jadi woles saja. Tak perlu terlalu heran ketika media-media mainstream, khususnya televisi, tak ramai meliput reuni akbar umat Islam di 212, Ahad kemarin. Jika pun ada media mainstream selain televisi yang meliput, beritanya juga tak sesuai konten. Atau hanya memberitakan dalam rangka framing negatif, sehingga kesimpulan terhadap umat Islam ditangkap buruk oleh masyarakat yang belum tercerdaskan.

Yang pasti, bagaimana pun, reuni 212 di penghujung 2018 ini telah sangat sukses menyampaikan pesan kepada Istana. Kendati sang penguasa tak turut hadir di Monas, melainkan sedang berada di Istana Kepresidenan Bogor. Meski memang pihak panitia 212 sendiri urung mengundang Presiden. Lantas, apa saja pesan itu? Pertama, Istana gagal mengkooptasi sekaligus memecah soliditas umat. Kedua, kekuasaan tidak boleh digunakan untuk menakut-nakuti rakyat. Ketiga, pemerintah tengah menghadapi pembangkangan dari masyarakat (civil disobedience).

Diakui atau tidak, kubu pendukung pemerintah pasti sangat kaget dengan fakta bahwa reuni 212 kali ini dihadiri oleh peserta dengan jumlah luar biasa besar. Bagaimana tidak kaget? Padahal penguasa secara sistematis telah mencoba berbagai cara untuk mematahkan perlawanan umat dengan strategi rangkul dan pukul. Di antaranya, penguasa merangkul sejumlah ulama berpengaruh yang sebelumnya menjadi pendukung Aksi 212 seperti TGB Zainul Majdi, dan Yusuf Mansur. Terakhir penguasa juga berhasil merangkul Yusril Ihza Mahendra. Namun, dirangkulnya semua tokoh tersebut ternyata tidak berhasil menggoyahkan konsolidasi umat. Yang terjadi, tokoh-tokoh tersebut malah semakin ditinggalkan umat. Padahal di sisi lain, pihak yang tidak bisa dirangkul oleh pemerintah, menghadapi pukulan keras, seperti persekusi hingga kriminalisasi. Wajar jika akhirnya ada sejumlah akademisi dan pengamat asing yang menyebut penguasa mulai otoriter.

Meski telah dihadang secara mental, media bahkan sistemik, reuni 212 memberi bukti bahwa para peserta tidak mau lagi mendengarkan himbauan para pejabat maupun ulama yang meminta mereka untuk tidak hadir. Beruntung, para peserta pun tidak mudah terprovokasi. Mereka seolah paham benar bahwa sudah lumrah adanya jika penguasa sekular takkan pernah berpihak pada perjuangan Islam.

Dari semua kisah tentang reuni 212 ini telah membuktikan dengan teramat jelas bahwa umat Islam sama sekali berbeda dengan citra buruk yang diberikan penguasa berikut media pendukungnya selama ini. Lebih dari itu, reuni 212 ini juga untuk menunjukkan bahwa ukhuwah umat Islam di Indonesia masih ada. Mengibarkan bendera tauhid di acara tersebut adalah wujud refleksi keislaman.

Opini inilah yang harus dibangun di tengah umat sebagai salah satu cara untuk melawan rezim yang anti Islam. Karakter umat yang berkepribadian Islam serta Islam yang rahmatan lil alamin, yang terwujud pada momen 212 nyatanya mampu membungkam narasi negatif media-media bayaran yang selama ini memihak penguasa. Sebaliknya, umat yang hadir di reuni 212 sungguh tanpa bayaran.

والله أعلم بالصواب

Share artikel ini: