Pejabat Tinggi Kesehatan AS : Meningkatnya Penembakan Massal Merupakan ‘Darurat Kesehatan Masyarakat’

Amerika Serikat telah diguncang oleh serangkaian penembakan massal dalam beberapa minggu dan bulan terakhir, yang terjadi di tengah tindakan kekerasan polisi yang belum pernah terjadi sebelumnya yang menargetkan kelompok ras minoritas di negara itu.

Seorang pejabat tinggi kesehatan negara itu, berbicara tentang peningkatan yang mengkhawatirkan dalam kekerasan senjata di AS pada tahun ini. Pada hari Minggu dia menyebutnya sebagai “mengerikan” dan “darurat kesehatan masyarakat”.

Anthony Fauci, yang dikenal telah mengguncang kaum elit politik di Washington dengan pendapat-pendapatnya yang tidak populer, mengeluarkan pernyataan itu setelah terjadinya penembakan hari minggu lalu di Indianapolis, yang merenggut nyawa delapan orang.

“Bagaimana Anda bisa mengatakan hal itu bukan masalah kesehatan masyarakat?” kata Fauci dalam acara “State of the Union” CNN.

“Ketika Anda melihat orang terbunuh, maksud saya, dalam sebulan terakhir ini, sangat mengerikan apa yang terjadi. Bagaimana Anda bisa mengatakan hal itu bukan masalah kesehatan masyarakat? ” katanya.

Menurut data dari Arsip Kekerasan Senjata, setidaknya terhadi 150 penembakan massal di tahun ini di AS, meningkat 73 % dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Negara itu mencapai rekor tertinggi 610 penembakan massal pada tahun 2020, dengan jumlah korban tertinggi sejak organisasi tersebut mulai melacak jumlah angka tersebut pada tahun 2014.

Hampir 20.000 orang Amerika tewas karena kekerasan senjata tahun lalu, lebih dari tahun mana pun dalam dua dekade, menurut Washington Post, sementara sekitar 24.000 orang tewas karena bunuh diri menggunakan senjata.

Tahun ini, di AS rata-rata terjadi lebih dari satu penembakan massal dalam sehari, yang menandai meningkatnya tren sejak penembakan di Sekolah Dasar Sandy Hook pada bulan Desember 2012 di Newtown, Connecticut, saat seorang pria berusia 20 tahun menembak dan menewaskan 26 orang, termasuk 20 anak-anak.

Tren yang memprihatinkan ini terlihat meningkat berlipat ganda selama pandemi Covid-19 yang telah mengakibatkan tewasnya 500.000 orang, yang menjadikan AS negara yang paling parah terkena dampak pandemi ini di dunia.

“Terlalu banyak orang Amerika yang sekarat setiap hari karena kekerasan senjata. Hal ini menodai karakter yang kita miliki dan mengusik jiwa bangsa kita. Kita bisa, dan harus, berbuat lebih banyak untuk bertindak dan menyelamatkan nyawa, ” tambah Fauci.

Serentetan penembakan juga meningkatkan tekanan publik atas pemerintahan Joe Biden agar memperketat peraturan senjata, yang sejauh ini menunjukkan keengganan pemerintah.

Menurut jajak pendapat Reuters/Ipsos, sebagian besar orang Amerika mendukung undang-undang senjata yang lebih ketat, namun pemerintahan yang berkuasa berturut-turut di AS tidak berbuat banyak untuk mengatasi masalah tersebut.

Insiden terakhir

Penembakan minggu lalu di fasilitas FedEx di negara bagian Indianapolis, AS, dekat Bandara Internasional Indiana, adalah yang insiden terbaru dari serangkaian penembakan massal tahun ini.

Seorang pria bersenjata menewaskan delapan pekerja dan melukai beberapa lainnya, kemudian menembak dirinya sendiri.

Menyusul penembakan yang mematikan di Indianapolis itu, Presiden AS Joe Biden pada hari Jumat merilis pernyataan, yang menyebut kekerasan bersenjata sebagai “epidemi di Amerika.”

Insiden di Indianapolis, yang terburuk bulan ini, diikuti oleh lebih banyak penembakan di berbagai kota di AS, tiga insiden dalam waktu kurang dari 24 jam.

Di Austin, Texas, tiga orang tewas pada hari Minggu di sebuah kompleks apartemen dimana pihak berwenang memburu seorang mantan wakil sheriff terkait dengan penembakan fatal itu.

Dalam insiden lain yang dilaporkan di Kenosha County, Wisconsin pada hari yang sama, tiga orang tewas dan dua lainnya luka-luka dalam penembakan di sebuah bar.

Insiden ketiga terjadi di Shreveport, Louisiana, di mana lima orang dirawat di rumah sakit setelah ditembak dan terluka oleh seorang penyerang tak dikenal.

Rentetan penembakan ini terjadi sebulan setelah dua penembakan massal yang terjadi dalam rentang waktu seminggu. Delapan orang, enam di antaranya wanita keturunan Asia, tewas dalam penembakan di daerah Atlanta, dan 10 orang dibunuh oleh seorang pria bersenjata di toko bahan makanan di Boulder, Colorado.

Meningkatnya penembakan massal terjadi di tengah meningkatnya kekerasan yang mengganggu oleh polisi di AS terhadap orang-orang kulit berwarna, yang menjadi pusat perhatian tahun lalu setelah pembunuhan secara brutal terhadap George Floyd.

Negara itu telah diguncang protes massa yang meluas sejak tahun lalu, saat orang-orang menyerukan reformasi polisi yang drastis dan diakhirinya rasisme yang terlembaga selama berabad-abad.[]

Sumber: presstv.com

Share artikel ini: