Mediaumat.news – Pegiat Komunitas Literasi Islam Nur Fajaruddin menyatakan bahwa sesungguhnya kekejaman PKI dan berbagai pembantaian itu adalah fakta sejarah yang nyata, terutama kisah bagaimana gerakan komunisme itu menjadikan ulama dan santri sasaran utama.
“Salah satunya ada di Pondok Pesantren Takeran, kemudian di Gontor, dikepung oleh PKI namun selamat, banyak sekali pondok-pondok pesantren di Madiun tutup, kehilangan banyak kiai, ada satu cerita mengenai Kiai Zuhdi kalau tidak salah, beliau ini ditembak, disiksa, dipenggal, kemudian dikubur hidup-hidup, ada saksi mata mengatakan bahwa kiai tersebut sempat azan, mengeluarkan sumpah serapah, mengucap Laa ilaa ha Illallah. Komunis laknatullah,” ungkapnya dalam acara Fokus: Ancaman Negeri Ini; Kapitalisme, Komunisme atau Islam? Ahad (04/10/2020) di kanal Youtube Fokus Khilafah Channel.
Dalam acara tersebut, Nur juga menceritakan bahwa gerakan komunis itu sudah eksis bahkan sebelum Indonesia lahir. Namun saat di awal abad ke-20 targetnya adalah memecah gerakan Sarekat Islam yang pengaruhnya begitu kuat di Hindia Belanda, dan eksisnya gerakan komunis itu didalangi oleh pemerintah kolonial saat itu.
“Di bawah pemerintahan Hindia Belanda, di abad ke-20 waktu itu sedang booming-nya gerakan Islam, salah satu aktor utamanya adalah Sarekat Islam yang tujuannya jelas yaitu Indonesia merdeka berdasarkan Islam, dari sinilah pemerintahan Hindia Belanda perlu untuk memecah gerakan ini, karena SI ini sangat luar biasa pengaruhnya, bahkan SI punya cabang di seluruh Hindia Belanda, bukan hanya di Jawa,” kata Nur.
Nanti setelah kemerdekaan, gerakan komunisme itu muncul lagi setelah dibredel, di tahun 1948 muncul FDR (Front Demokrasi Rakyat) kemudian melakukan pemberontakan di Madiun, waktu itu Uni Soviet sudah berdiri dan target mereka jelas di bawah arahan Uni Soviet harus segera membentuk Uni Indonesia, Republik Soviet Indonesia.
“Targetnya memang semua orang yang tidak sepaham dengan PKI seperti militer, tokoh nasionalis, dan khusunya ulama, karena sejak awal Uni Soviet itu memusuhi agama,” ungkap Nur.
Memang korbannya banyak sekali, di salah satu buku Dari Kata Menjadi Senjata, itu diceritakan bagaimana mayat itu bergelimpangan di Kota Madiun, karena di sana orang-orang Masyumi, militer, siapa pun yang tidak sepaham dengan PKI, seketemunya dibantai di tempat.
“Memang korban banyak dari santri dan kiai, itu di Madiun saja, belum sekitarnya banyak korban dan pondok-pondok itu tutup, karena sebagian besar santri dan ustaz-ustaznya dibunuh oleh PKI,” beber Nur.
Menjelang tahun 50-an, PKI di reorganisasi lagi oleh tiga sekawan, Nyoto, Lukman dan DN Aidit, kemudian mereka mendekati Bung Karno, kebetulan waktu itu Bung Karno sedang memasarkan ide politik baru yang disebut Nasakom (nasionalis, agamis dan komunis).
“Jadi, kemudian Bung Karno memaafkan, kemudian PKI bertumbuh lagi menjadi bagian dari pertimbangan kekuatan politik di Indonesia, mereka berkampanye ke seluruh Indonesia, dan mendapat banyak dukungan, dan pada tahun 1955 PKI meraih posisi ke-4 besar dari peraih suara tinggi partai di pemilu kala itu,” cerita Nur.
Yang cukup menarik DN Aidit disebut pada awalnya mengatakan bahwa dia adalah pembela Pancasila, namun di dalam bukunya tokoh PKI itu mengatakan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu bangsa, lalu apabila bangsa sudah bersatu dalam komunisme maka alat itu akan dibuang.
“Artinya Pancasila digunakan PKI hanya sebuah kedok sebagai alat mencari muka di hadapan Bung Karno agar dia punya pelindung,” ungkap Fajar.
Lalu, lanjut Nur, dalam bukunya Salim Said berjudul Gestapu ‘65 itu jelas sekali memang sebagian besar pelaku yang melakukan penyiksaan adalah anggota pemuda rakyat dan gerwani yang berlatih di lubang buaya.
Di sisi lain yang mengambil para jenderal itu adalah pasukan yang memang dipimpin oleh perwira-perwira seperti Letkol Untung yang dibina oleh PKI, di dalam buku Chakrabirawa, pasukan pengawal presiden, jadi tidak bisa ditutupi lagi bahwa dalang dibalik peristiwa 65 itu adalah PKI.
“Dan yang terjadi pusat, politik umat Islam itu berhasil dijinakkan oleh PKI melalui tangan Bung Karno, Masyumi dibubarkan, kemudian NU dipaksa masuk kabinet tapi kemudian di daerah terjadi gesekan yang luar biasa, salah satunya terjadi penyerobotan tanah-tanah pesantren,” kata Nur.
Menurut Nur, PKI mengopinikan ulama di daerah disebut ancaman. Dikatakan oleh PKI bahwa ulama adalah salah satu dari tujuh setan desa yang harus dibasmi, dan juga kemudian melalui budaya-budaya yang ditunjukkan oleh PKI yang menghina agama.
“Dan ini membuat jengkel umat Islam di daerah. Memang mereka menargetkan para ulama, bahkan di Lirboyo itu disiapkan sumur untuk membantai para santri dan kiainya,” pungkas Nur.[] Fatih Solahuddin