Mediaumat.news – Pernyataan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres yang menjanjikan bantuan keuangan hingga 1,1 miliar dolar AS sebagai jaminan hak asasi manusia di Afghanistan, dinilai sebagai bentuk soft power Amerika Serikat (AS) untuk tetap mengontrol negara tersebut.
“Sudah jelas, pendekatan soft power dipilih Amerika untuk tetap mengontrol Afghanistan dengan kekuatan diplomasi uang melalui Lembaga PBB,” ujar Direktur Institute Muslimah Negarawan (IMuNe) Dr. Fika Komara kepada Mediaumat.news, Rabu (15/9/2021).
Melalui PBB, jelasnya, AS memanfaatkan agen-agen pembangunan non-governmental organization (NGO) atau organisasi nirlaba yang memiliki dasar kepentingan sosial dan lingkungan, serta mesin-mesin propaganda yang siap mengontrol persepsi publik dunia soal identitas Islam Taliban.
Penting diketahui, PBB adalah bagian dari “komunitas internasional” yang masih berada dalam kendali AS, yang menurut Fika, tidak ada secuil prestasi membanggakan dari mereka. “Sejak krisis Palestina, Suriah, Rohingya hingga Uighur, tidak ada secuil prestasi yang bisa dibanggakan dari PBB,” ungkapnya.
Ia juga menilai, dengan diplomasi uang, PBB diharap bisa turut mengendalikan arah serta menyelaraskan langkah politik Taliban dengan AS yang sebelumnya juga sengaja menciptakan krisis ekonomi mengerikan di sana.
Misal, Amerika dengan cerdik memanfaatkan situasi dengan memblokir akses ke cadangan dolar di bank-bank AS via IMF untuk menahan sekitar $460 juta dalam pendanaan pandemi di Afghanistan. “Padahal Afghanistan selama ini sangat bergantung pada transfer massal cadangan dolar dari AS,” jelasnya.
Bahaya Besar
Fika memandang, di balik bantuan tersebut terdapat bahaya besar berupa kutukan penjajahan seperti yang melekat selama 20 tahun terakhir. Meskipun, lanjutnya, untuk babak baru kali ini tidak lagi dijajah secara fisik oleh AS, tetapi Taliban akan tetap dipaksa menggunakan kerangka kerja ekonomi kapitalisme dalam membangun Afghanistan.
Menurutnya, hal itu sesuai watak asli kapitalis AS yang selalu pamrih dalam memberikan bantuan. “Syarat klasik dan berat berupa ‘pemerintahan yang inklusif, perlindungan HAM, dan upaya mencegah merebaknya terorisme di Afghanistan’ harus dipenuhi Taliban agar memenuhi kualifikasi menerima dana internasional tersebut,” ungkapnya.
Bahkan secara gamblang diperjelas dengan pernyataan Menlu RI Retno Marsudi setelah menghadiri Pertemuan Tingkat Tinggi PBB untuk Situasi Kemanusiaan di Afghanistan secara virtual pada Senin (13/9) yang mengatakan agar Taliban tunduk dengan aturan main AS, yang menurut Fika, cenderung kapitalis sekuler dengan ajaran Islam moderatnya.
Alternatif
Oleh karena itu, Taliban perlu mengartikulasikan ulang visi negara atau justru menyajikan alternatif konstitusi Islam yang terperinci, terutama dalam hal sistem ekonominya. “Tidak cukup dengan sekadar pernyataan untuk menjadikan Afghanistan sebagai Emirat Islam tanpa rincian lebih lanjut yang diberikan,” tegasnya.
Dengan demikian, Afghanistan akan terbebas dari jeratan utang ribawi berikut jebakannya berupa bantuan ekonomi, investasi asing maupun bantuan panduan dalam penyusunan APBN dan pengelolaan sumber daya alam.
Berikutnya, pemimpin Taliban diharapkan memiliki kesadaran politik Islam yang lebih mendalam. “Mengingat begitu besarnya pertarungan pengaruh di kawasan. Umat Islam di sana memiliki keunggulan geopolitik dan sumber daya alam, tapi juga dikelilingi kekuatan-kekuatan raksasa,” imbuhnya.
Pun, Taliban seharusnya berpartner dengan kekuatan Muslim di Pakistan yang masih memiliki ketulusan dalam membangun tanah Afghanistan yang telah banyak disiram darah syuhada’. “Bahkan lebih dari itu Taliban memiliki peluang menjadi lokomotif penyatuan negeri-negeri Muslim menjadi satu kekuatan di bawah khilafah Islam,” sambungnya.
Ia katakan demikian, sebab, konsep negara emirat/imarah Islam yang diadopsi Taliban, selain tidak akan efektif membendung raksasa-raksasa penjajah, juga tidak dibenarkan syariah Islam.
Lebih jauh, konsep tersebut akan memaksa untuk mengabaikan kaum Muslim yang ada di semua negara di dunia, atau setidaknya mengabaikan komunitas Muslim di luar garis batas Afghanistan, seperti di Xinjiang, Turkistan Timur dan wilayah Kashmir yang tertindas.[] Zainul Krian