Patung Soekarno di Tengah Ancaman Minyak Goreng dan Angka Kemiskinan

 Patung Soekarno di Tengah Ancaman Minyak Goreng dan Angka Kemiskinan

Rencana pembangunan patung Soekarno di Jawa Barat menuai kontroversi. Banyak pihak yang mengkritisi pembangunan patung sang proklamator ini. Mengingat biaya pembangunannya yang menelan angka hingga 10 trilyun rupiah. Terlepas dari mana sumber pembiayaannya, pembangunan patung ini mencerminkan matinya rasa empati terhadap kondisi masyarakat saat ini. Karena kondisi ekonomi masyarakat pasca pandemi covid 19 belum sepenuhnya pulih, banyak usaha ritel yang gulung tikar baru-baru ini, baik pemain besar seperti Transmart yang telah menutup banyak gerainya, maupun para pemain kecil. Mengutip Kumparan.com yang menuliskan banyak pedagang yang curhat jualannya sepi. Ini melanda berbagai sektor ritel, salah satunya 80% sektor F & B yang mengalami drop (penurunan penjualan). Ditambah lagi dengan ketidakpastian nilai tukar rupiah akibat tekanan sentimen global berupa dampak Bank Sentral AS (The Fed) dan ekonomi Tiongkok yang di bawah ekspektasi pasar, per kamis 24 Agustus 2023 nilai rupiah menjadi 15.257 per dolar AS. Dalam kondisi seperti ini pengusaha ritel mengancam akan  membuat minyak goreng langka di pasaran lagi. Ancaman ditebar karena mereka belum mendapatkan kepastian dari pemerintah soal pembayaran utang Rp344 miliar.

Dalam kondisi seperti ini seharusnya negara memprioritaskan kondisi rakyat yang mengalami kesulitan, karena himpitan ekonomi. Negara harus memastikan terlebih dahulu setiap warga negaranya telah terpenuhi kebutuhan pokoknya, karena ini adalah masalah utama bagi kelangsungan hidup manusia. Bagaimana rakyat ini bisa membangun, bisa berkreasai, bisa berkontribusi dalam kebaikan jika mereka masih pusing memikirkan urusan perut yang lapar? Menurut data BPS, jumlah penduduk miskin pada maret 2023 sebesar 25,90 juta orang dengan garis kemiskinan pada maret 2023 tercatat sebesar Rp550.458,-/kapita/bulan.

Melihat besarnya angka kemiskinan di negeri ini, maka wajar jika pemerintah seharusnya mengutamakan alokasi APBN atau pembelanjaan negara untuk mengatasi kemiskinan terlebih dahulu, bukan membangun infrastruktur yang tidak mendesak dibutuhkan rakyat. Misalnya pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung yang awalnya diperkirakan menelan biaya Rp 86,67 triliun, tapi belakangan terjadi pembengkakan atau cost everrun (kelebihan biaya) menjadi Rp 114,24 triliun. Tentunya tujuan pembangunan kereta cepat ini untuk memudahkan akses dari ibukota Jakarta menuju Bandung, walapun sebenarnya sudah ada akses jalan tol Jakarta-Bandung. Tujuan pembangunan kereta cepat ini menjadi kehilangan makna di saat pemerintah mencanangkan IKN di Kalimantan Timur sebagai ibukota negara, lalu apa lagi urgensi kereta cepat Jakarta-Bandung jika Jakarta sudah tidak lagi menjadi ibukota?

Dengan memperhatikan banyaknya orang miskin di negeri ini yang riil terjadi dan bukan lagi berupa asumsi, dibuktikan dengan data BPS yang merilis angka kemiskinan mencapai puluhan juta orang, ini bukan jumlah yang sedikit. Harusnya pemimpin di negeri ini tidak bisa tidur memikirkan puluhan juta jiwa rakyatnya yang masih terhimpit kemiskinan. Harusnya pemimpin di negeri ini terngiang-ngiang akan hadits qudsi dari baginda Nabi Muhammad SAW:

مَا آمَنَ بِي مَنْ بَاتَ شَبْعَانٌ وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ وَهُوَ يَعْلَمُ بِهِ

“Tidak beriman kepada-Ku, seseorang yang bermalam dalam keadaan kenyang, sedangkan tetangga di sampingnya kelaparan dan dia mengetahui hal itu” (HR. Thabarani).

Kepedulian terhadap orang yang kelaparan dalam hadits ini dihubungkan dengan keimanan seseorang, diamnya seseorang terhadap kelaparan mengindikasikan lemahnya iman, tentu ini bukan perkara yang remeh, sehingga perlu diberikan perhatian khusus. Jika berdiam diri terhadap satu tetangga yang lapar saja sudah dipertanyakan keimanannya, apalagi jika mengetahui ada laporan angka kemiskinan hingga puluhan juta orang. Lalu, di mana keimanan penguasa negeri ini?

Sangat bagus penjelasan Syaikh Abdurrahman al-Maliki dalam kitab As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, bahwa kebijakan ekonomi dalam Islam adalah menjamin terwujudnya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok bagi setiap individu (rakyat) dengan pemenuhan yang menyeluruh, dan memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan pelengkap yang mampu dengan patokan (level) hidup di suatu masyarakat Islam tertentu. Dengan begitu kesejahteraan bukanlah sekedar statistik, sekedar dalam Pidato Tahunan, dalam suatu pidato kenegaraan, namun harus menjadi perhatian seorang pemimpin di sebuah negara. Meskipun hanya ada satu orang rakyat yang tidak terpenuhi kebutuhan pokoknya, maka itu menjadi tanggung jawabnya di dunia dan akhirat. Maka, cukuplah doa Nabi menjadi nasihat jika ada pemimpin yang menyulitkan rakyatnya, Nabi SAW bersabda:

«اللهُمَّ، مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ، فَاشْقُقْ عَلَيْهِ، وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ»

“Ya Allah, barangsiapa mengurusi suatu urusan dari umatku, lalu dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Barangsiapa mengurusi suatu urusan dari umatku, lalu dia bersikap lemah-lembut terhadap mereka, maka bersikaplah lemah-lembut terhadapnya.” (HR. Muslim).

 

Wallahu’alam bi ash-shawab.

(TS LTs)

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *