Oleh: Ilham Efendi (Resistance Forum)
Barat sangat memahami bahwa persatuan adalah inti dari kekuatan umat Islam. Khilafah Islam pada masa kegemilangannya telah menunjukkan posisinya sebagai superpower pada masa Abad Pertengahan. Memang, Islam berpotensi melahirkan perbedaan. Namun, dalam Islam ada prinsip “perbedaan adalah rahmat” dan “amrul imam yarfa’ al-khilaf” (perintah imam [khalifah] menghilangkan perbedaan pendapat). Prinsip ini mampu mengembalikan berbagai perbedaan yang muncul di Dunia Islam ke persatuan dan kesatuan umat.
Barat senantiasa mencari celah untuk dapat masuk dan memecah-belah umat Islam. Saat Khilafah terakhir berada di tangan orang-orang Turki (Turki Utsmani), mereka menghembuskan isu Turanisme vs Arabisme. Dengan ide nasionalisme yang berkembang di Eropa pasca Perjanjian Westphalia, Dunia Islam pun dipaksa mengadopsi ide nasionalisme. Jadilah Perang Dunia I momentum untuk menghabisi keberadaan Khilafah Islam terakhir.
Inggris dan Prancis, dua negara superpower saat itu, merancang pembagian wilayah pasca perang melalui Perjanjian Sykes-Picot yang ditandatangani pada tanggal 16 Mei 1916. Perjanjian ini diberi nama sesuai dengan nama diplomat Prancis François Georges-Picot dan diplomat Inggris Sir Mark Sykes. Keduanya merundingkan pemecahan wilayah Khilafah Turki Utsmani tersebut. Khilafah pun dapat diruntuhkan dan jadilah Dunia Islam terpecah menjadi lebih dari 50 negara.
Apa yang dilakukan Barat tidak berhenti di situ. Barat sangat memahami potensi persatuan Islam ini. Karena itu berbagai upaya dilakukan untuk mencegah persatuan kembali umat Islam. Beberapa strategi kontemporer dapat dirujuk dari rekomendasi Rand Corporation, sebuah lembaga think-tank neo konservatif Amerika Serikat yang banyak mendukung berbagai kebijakan Gedung Putih. Dalam rekomendasi yang disampaikan oleh Cheryl Benard yang berjudul “Civil Democratic Islam, Partners, Resources and Strategies” secara detil diungkapkan upaya untuk memecah-belah umat Islam.
Tulisan dari Dr. Michael Brant, mantan tangan kanan Direktur CIA yang berjudul “A Plan to Divide and Destroy the Theology”, pun menunjukkan bagaimana CIA sampai mengalokasikan dana sebesar 900 juta US dolar untuk memecah-belah umat Islam.
Bahkan terkait dengan krisis Irak, Amerika Serikat sudah dalam tahapan pengkondisian legitimasi reinvasi Amerika dan implementasi peta baru Timur Tengah dengan menjadikan Irak menjadi tiga negara: Sunni, Syiah, Kurdi. Sebagaimana yang diungkap oleh Letnan Kolonel Ralph Peters, pensiunan dari National War Academy AS, dalam buku yang diterbitkan Angkatan Bersenjata Journal pada bulan Juni 2006, peta Irak dalam buku ini telah digunakan dalam program pelatihan di NATO Defense College untuk perwira militer senior.
Penegasan hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Presiden Amerika Serikat Joe Biden yang mengklaim bahwa perwujudan tiga negara bagian federal (berdasarkan kesepakatan etnis dan suku) telah menjadi opsi penting dalam menyelesaikan krisis di Irak. Joe Biden dalam pertemuannya Sabtu (1/6/14) dengan sekelompok tokoh Irak di Washington mengatakan, “Pembentukan tiga negara bagian terpisah” (Syiah-Sunni-Kurdi) adalah untuk menyelesaikan krisis dalam negeri Irak.
Barat, khususnya Amerika, telah memiliki pandangan yang khusus terhadap Timur Tengah sejak terjun ke dalam politik dunia pasca melepaskan Doktrin Monroe.
Karena itu umat Islam perlu memiliki kesadaran politik mengenai negara-negara yang memiliki peran penting dalam percaturan politik internasional. Mereka adalah Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Prancis dan Cina. Selain itu penting juga memahami keterkaitan (connections) antara orang-orang yang memiliki hubungan yang erat dan dekat dengan negara-negara berpengaruh tersebut. Menjadikan seseorang menjadi ‘boneka’ negara asing bukanlah proses yang instan; butuh pendalaman, interaksi yang intens yang keterkaitan kepentingan yang saling berkelindan satu sama lain.[]