Pasca Assad Tumbang, Rakyat Suriah Harus Belajar dari Arab Spring

Mediaumat.info – Pasca tumbangnya rezim Bashar Assad di Suriah beberapa waktu lalu, Pemimpin Redaksi Majalah Al-Wa’ie Farid Wadjdi berharap umat termasuk rakyat Suriah harus belajar dari perubahan yang pernah terjadi di negeri Muslim lainnya yang dikenal sebagai Musim Semi Arab (Arab Spring).

“Kita seharusnya belajar dari perubahan yang (pernah) terjadi di Mesir, Tunisia, dan negeri Muslim lainnya,” ujarnya dalam Sorotan Dunia Islam, Rabu (11/12/2024) di Radio Dakta 107.0 MHz FM Bekasi.

Pada awalnya, kata Farid lebih lanjut, kemenangan berpihak kepada rakyat di Tunisia yang memprotes korupsi, kemiskinan, dan penindasan politik, setelah sebelumnya memaksa Presiden Zine al-Abidine Ben Ali mengundurkan diri pada Januari 2011.

Keberhasilan perlawanan tersebut, yang kemudian dikenal di media sebagai ‘Revolusi Melati’, memicu gelombang protes serupa di seluruh Timur Tengah dan Afrika Utara termasuk Mesir dan Libya, sebagaimana disebut sebelumnya dengan istilah Arab Spring.

Salah satu episode revolusi Arab yang baru saja terjadi adalah penggulingan rezim Bashar Assad di Suriah oleh koalisi perlawanan yang dikoordinir oleh kelompok Hayat Tahrir al-Syam (HTS).

Kelompok yang ditengarai disokong Turki dan sejumlah negara Barat itu melakukan serangan cukup cepat dan berhasil menggulingkan rezim Bashar Assad yang telah berkuasa di Suriah lebih dari dua dasawarsa.

Khilafah Solusi Paripurna

Dengan kata lain, tak ingin berakhir seperti negeri Muslim lainnya yang justru menerima tawaran Amerika Serikat (AS) berupa demokrasi berbalut Islam, Farid pun berharap rakyat Suriah menjadikan khilafah sebagai solusi paripurna.

Sebab, menurutnya, demokrasi berbalut Islam yang ditawarkan selama ini menjadi jalan bagi AS untuk mengintervensi. Sebutlah yang menimpa Muhammad Mursi, presiden Mesir pertama yang terpilih secara demokratis, tetapi ditahan sebelum dilengserkan pada tahun 2013.

Pula umat harus belajar dari apa yang terjadi di Libya. Pasca tumbangnya rezim Muammar Khadafi, ungkap Farid, AS menggunakan strategi untuk menjadikan pejuang-pejuang Muslim garda terdepan perubahan di sana sebagai kelompok teroris untuk diperangi.

Maka tak heran, hingga sekarang AS terus membiarkan konflik terjadi di sana. “Maka saat sekarang ini Amerika terus membiarkan konflik yang ada di Libya,” sambungnya.

Berikutnya, model yang juga harus diperhatikan umat sebagai jebakan AS adalah seperti yang terjadi di Afghanistan pada 2021 lalu.

Sebelumnya, Taliban memang berhasil menguasai secara penuh Afghanistan. Tetapi, kata Farid menjelaskan, AS kemudian melakukan pembatasan-pembatasan agar tetap bisa mengendalikan wilayah tak berpantai tersebut.

Untuk itu, dibutuhkan sistem politik yang independen dan lepas dari intervensi AS. “Nah di situlah dibutuhkan oleh umat ini sistem politik yang independen, yang lepas dari intervensi Amerika,” tandasnya.

Untuk itu pula, seperti halnya pemaparan Farid sebelumnya, solusi paripurna untuk masa depan Suriah sekaligus negeri-negeri Muslim lainnya adalah khilafah ’ala minhaj an-nubuwwah, pemerintahan Islam yang dipimpin oleh seorang khalifah dengan mendasarkan kedaulatan hukum di tangan syara’.

Sekadar ditambahkan, kedaulatan di tangan syara’ merupakan salah satu pilar khilafah, selain tiga pilar lainnya, yaitu: kekuasaan di tangan umat, wajib mengangkat satu khalifah, dan hanya khalifahlah yang berhak mengadopsi hukum yang bersumber dari Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ Shahabat dan Qiyas Syar’iyyah.

Karenanya, umat Islam dan faksi-faksi yang ada di Suriah harus bersatu dan kembali ke Islam, untuk memotong segala bentuk intervensi dengan tidak memberikan celah sedikit pun kepada AS terkait bantuan ekonomi maupun politik. “Itulah yang menjadi jalan bagi Barat untuk melestarikan penjajahan mereka,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: