Mediaumat.news – Dimasukkannya pasal mengenai penghinaan presiden dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) terbaru yang dulu pernah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA), dinilai Analis Senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan sebagai bentuk pengekangan hak-hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat.
“Tentu ini menunjukkan pengekangan hak-hak masyarakat, yaitu hak untuk menyampaikan pendapat. Sekaligus menunjukkan penguatan otoritarianisme pada penguasa atau sering disebut sebagai new authoritarianism,” ujarnya kepada Mediaumat.news, Jumat (11/6/2021).
Fajar memandang, walaupun dalam draf RKUHP pasal penghinaan presiden ini deliknya adalah delik aduan, tapi sangat mungkin menjadi pintu bagi tindakan kriminalisasi kepada lawan-lawan politik rezim yang berkuasa. “Mengenai siapa yang mengadukan itu kan mudah saja bagi penguasa untuk membuat pengondisian,” ucapnya.
Menurut Fajar, alasan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly agar rakyat tidak liberal secara teoritis mungkin iya, tapi pada praktik yang terjadi selama ini, pasal penghinaan terhadap presiden maupun pejabat termasuk DPR justru digunakan untuk membungkam lawan-lawan politiknya. Sebab pasal ini akan menjadi pasal karet seperti juga pasal-pasal karet dalam UU ITE selama ini, yang juga lebih sering digunakan untuk memberangus suara-suara kritis dari pihak oposisi maupun kelompok kritis lainnya.
“Pasal penghinaan di RKUHP juga sangat mungkin akan menjadi pasal karet, yang akan menyasar pihak-pihak yang berseberangan dengan rezim,” ungkap Fajar.
Baca juga: Jaga Wibawa Presiden Bukan dengan Pasal Penghinaan, Tetapi…
Fajar mengatakan, kritik-kritik yang diberikan oleh masyarakat hendaknya dijawab dengan perbaikan kinerja pemerintah, bukan malah dijawab dengan langkah pembungkaman. Dan kalau pasal ini tetap akan diadopsi, maka ini akan membuat bangsa Indonesia kembali mundur puluhan tahun dalam konteks kebebasan berpendapat.
“Spririt reformasi yang salah satunya adalah untuk meningkatkan kebebasan dalam menyatakan pendapat, akan tercederai. Dan kita akan kembali sebagaimana zaman orde Baru. Ini saya kira yang menjadi masalah,” tutur Fajar.
Ia menyebut, dalam masalah liberalisasi ini ada sebuah paradoks yang memang nyata terjadi di negeri ini. Di satu sisi pemerintah semakin ugal-ugalan dalam mengelola negara, tapi di sisi lainnya, pemerintah berlaku otoriter kepada rakyatnya.
“Dan ini merupakan ciri khas dari pemerintahan dalam sistem demokrasi liberal, pemerintahan akan selalu berpihak kepada kepentingan para pemilik modal, para kapitalis atau para oligarki. Mereka pada hakikatnya sama sekali tidak bekerja untuk kepentingan rakyat. Rakyat seringkali menjadi pesakitan dan menjadi korban bagi aneka kebijakan yang dikeluarkan oleh rezim,” bebernya.
Baca juga:Hidupkan Pasal Ancaman Penghinaan Presiden, Bentuk Ketidakpedean Pemerintah
Fajar melihat, lahirnya UU Minerba, UU Penanganan Covid-19, UU Omnibus Cipta Kerja maupun berbagai kebijakan lainnya menjadi penanda yang sangat nyata bahwa arah negara ini semakin liberal.
Fajar pun mencontohkan liberalisasi yang terjadi dalam berbagai bidang di antaranya, bidang ekonomi, bagaimana keran investasi dibuka di semua bidang ekonomi, termasuk di sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak yang sebenarnya menurut konstitusi itu harus dikuasai negara. Tapi nyatanya saat ini sektor-sektor tersebut banyak dikuasai oleh swasta bahkan pihak asing.
Bidang politik, bagaimana proses liberalisasi dan pragmatisme sudah sedemikian parahnya. Sehingga hanya orang yang punya kekuatan modal saja yang bisa duduk sebagai wakil rakyat atau pun menjadi presiden, gubernur dan bupati/wali kota.
“Di sinilah kemudian para cukong politik masuk untuk kemudian sebagai imbalannya maka mereka akan meminta sejumlah kompensasi dari proyek-proyek pemerintah,” beber Fajar.
Dalam bidang hukum, ia melihat, penegakan hukum tetap tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Hukum bisa dibeli oleh yang punya uang. Banyak contoh-contoh yang bisa menunjukkan hal ini. Sementara bagi para pejabat dan kroninya hukum seolah-olah tidak berdaya.
“Saya kira hampir semua bidang kita dengan mudah menunjukkan bahwa sedang terjadi proses liberalisasi,” pungkas Fajar.[] Agung Sumartono