Mediaumat.news – Strategi Jokowi di sektor energi untuk beralih dari pembangkit listrik berbahan batu bara ke energi baru terbarukan (EBT) guna menekan laju perubahan iklim yang disampaikan pada pertemuan Major Economies Forum on Energy and Climate 2021 secara virtual dinilai paradoks.
“Kebijakan Jokowi menyangkut hal ini, saya pikir paradoks antara yang diucapkan dengan kenyataan,” tutur Direktur Indonesian Justice Monitor Agung Wisnuwardana kepada Mediaumat.news, Ahad (19/9/2021).
Jokowi ingin melakukan transformasi energi. Namun, di sisi lain menurut Agung, malah memberikan royalti nol persen untuk hilirisasi batu bara.
“Bagaimana ingin transformasi energi baru terbarukan, sementara royalti nol persen diberikan untuk hilirisasi batu bara yang memicu tumbuhnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan bahan bakar yang berdampak besar pada emisi karbon,” jelasnya.
Jokowi ingin membangun ekonomi hijau. Namun, menurut Agung, UU Omnibus Law malah terindikasi kuat mempermudah izin lingkungan demi investasi.
Itulah yang menurut Agung paradoks. “Secara ucapan sepertinya memiliki komitmen terhadap perubahan iklim, tetapi faktualnya tidak tampak,” ungkapnya.
Selain itu, Agung juga khawatir, citra berkomitmen pada perubahan iklim itu hanyalah sarana untuk menambah utang luar negeri. “Saya khawatir citra berkomitmen pada perubahan iklim ini hanyalah sarana untuk menambah utang luar negeri dan pembukaan investasi asing seluas-luasnya,” jelasnya.
Memang, semangat untuk membangun transformasi energi menuju EBT menjadi tren saat ini. Namun, Agung mengatakan, perubahan iklim di dunia saat ini tidak bisa dilepas dari kontribusi besar sistem kapitalisme yang merengsek untuk memperoleh keuntungan material.
Menurutnya, lucu jika Joe Bidden sebagai presiden kampiunnya kapitalisme teriak-teriak perubahan iklim. “Sistem kapitalismelah yang harus bertanggung jawab besar terhadap kerusakan lingkungan, energi kotor, naiknya suhu bumi, emisi karbon yang terus meningkat,” pungkasnya.[] Ade Sunandar