Tahun 4 Hijriah (625M) terjadi sebuah peristiwa tragis yang menimpa para sahabat Rasûlullâh Saw yang berjumlah 10 orang dibawah pimpinan ‘Ashim bin Tsabit Ra. Mereka diutus oleh Rasûlullâh sebagai respon terhadap permintaan kabilah Bani Udhal dan al-Qarrah yang meminta dikirimi da’i (utusan) untuk mendakwahkan Islam. Namun itu hanya akal bulus yang berujung penghianatan. Para sahabat ini dibantai didekat mata air Bani Hudzail, di daerah Raji’. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai peristiwa Raji’. (Sirah Nabawiyah, Dhau’il Mashaadiril ashliyah, hlm. 413-417)
Dua pekan berselang, Rasûlullâh juga mengirim 70 sahabat pilihan ke Najd.
Ibnu Ishaq (704-761M), sejarawan besar islam, menyebutkan bahwa salah satu pembesar daerah Najd, Abu Barra’ ‘Amir bin Mâlik menemui Rasûlullâh Saw. Ia menyampaikan permintaan kepada Rasûlullâh supaya berkenan mengutus beberapa sahabat untuk mendakwahkan Islam kepada penduduk Najd.
Meski masih dibayangi trauma tragedi Raji’, para sahabat tersebut tetap bertolak menuju Najd. Ketika tiba di Bi`r Ma’unah sebuah daerah yang terletak antara wilayah Bani ‘Amir dan wilayah Bani Sulaim, para sahabat ini mengutus Haram bin Milhan untuk mengantarkan surat Rasûlullâh kepada ‘Amir bin Thufail, pemimpin Bani ‘Amir, sekaligus sepupu Abu Bara’ ‘Amir bin Malik. Namun ‘Amir bin Thufail tidak menghiraukan surat itu bahkan ia memerintahkan seorang pengikutnya untuk menikam Haram dari belakang.
Kemudian ‘Amir bin Thufail memprovokasi penduduk Bani ‘Amir agar memerangi rombongan sahabat Rasûlullâh. Bani ‘Amir menolak ajakan ‘Amir bin Thufail karena para sahabat berada dalam jaminan Abu Barra`. Tekadnya untuk memerangi rombongan ini tidak luntur disebabkan kegagalannya memprovokasi Bani ‘Amir. Dia arahkan hasutannya ke Bani Sulaim. Ajakan ini disambut oleh kabilah ‘Ushaiyyah, Ri’i dan Dzakwan. Mereka mulai bergerak dan mengepung para sahabat Rasûlullâh.
Pertempuran sengit tak terhindarkan. Satu persatu sahabat gugur sebagai syuhada, sampai akhirnya tidak ada yang tersisa kecuali Ka’b bin Zaid yang dibiarkan sekarat dengan harapan agar meninggal perlahan. Sementara itu ada 2 sahabat yang tertinggal yaitu Amr bin Umayyah dan al-Mundzir Uqbah bin ‘Amir. Melihat para sahabat mereka telah menjadi korban, tanpa rasa gentar, mereka maju dan menyerang kaum kuffar. Al-Mundzir terbunuh. Sementara Amr ditawan namun akhirnya dilepas dengan tebusan. (Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyâm, 2/260)
+++
Dua cerita di atas berkisah tentang konspirasi dan pengkhianatan. Tentang upaya musuh-musuh Islam menghalangi dakwah yang digalakkan oleh Rasulullah dan para sahabat.
Sebuah kisah tragis yang mana resonansinya acap kali terjadi belakangan ini. Semisal penghianatan beberapa pejabat teras negeri ini yang membela mati-matian Ahok sang terpidana pelecehan terhadap Alquran, juga kriminalisasi terhadap ulama. Dan yang terbaru, politik dagang sapi dengan bumbu konspirasi antara para politikus senayan dengan rezim penguasa represif guna mengesahkan Perppu No. 2/2017 menjadi UU Ormas.
Anggota DPR dan para Penguasa negeri ini sepertinya sadar tidak sadar, mengikut jejak Bani Udhal, al-qarrah dan ‘Amir bin Thufail, yang mencoba segala macam cara, termasuk pengkhianatan, guna membendung dakwah islam.
Mereka yang menghalangi dakwah; yang membubarkan organisasi dakwah; yang mengesahkan UU yang refresif terhadap aktivis dakwah; yang coba mengait-ngaitkan dakwah khilafah islam dengan radikalisme, jelas adalah para pengkhianat agama.
Kelak, mereka-mereka ini kekal di neraka. Namun sebelum itu, mari untuk saat ini, sebagaimana sunnah Nabi Saw, kita perbanyak doa qunut nadzilah. Doa supaya Allah Swt menghancurkan para penghianat. [fr]
@rozyArkom, Analis Politik APR