Para Pejuang Menemukan Jalan Pulang

Oleh HM Ali Moeslim (Penulis Buku Revolusi Tanpa Setetes Darah, Pembimbing Haji dan Umroh)

Bismillahirrahmaanirrahiim

TERSEBAR video berisi sebuah adegan, drone tentara Israel menyelinap masuk ke sebuah rumah yang hancur, di mana seorang pria bertopeng duduk di kursi, terluka dengan tangan yang berdarah. Ia menoleh setengah, dan dengan setengah mata ia melihat drone tersebut. Luka yang mengucur tidak menghentikannya untuk menggerakkan tangan yang lain, mengambil tongkat, dan melemparkannya ke arah drone.

Betapa menggetarkannya adegan itu, betapa agungnya akhir cerita itu. Seakan-akan adegan tersebut tertulis di sebuah naskah dan ada seorang aktor yang memerankannya. Namun, kenyataannya tidak demikian, tidak ada persiapan sebelumnya. Ini adalah potret terakhir dari seorang pria yang kisah hidupnya tidak dapat ditampung oleh novel-novel atau imajinasi, dialah as-Syahid Yahya Sinwar Pimpinan Hamas, Rafah, Gaza Selatan Palestina (17-10-2024).

Mengenang ke belakang 1400 tahun silam, saat Baginda Rasullah SAW wafat.

وَمَا مُحَمَّدٌ اِلَّا رَسُوْلٌۚ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُۗ اَفَا۟ىِٕنْ مَّاتَ اَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلٰٓى اَعْقَابِكُمْۗ وَمَنْ يَّنْقَلِبْ عَلٰى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَّضُرَّ اللّٰهَ شَيْـًٔاۗ وَسَيَجْزِى اللّٰهُ الشّٰكِرِيْنَ ۝١٤٤

“(Nabi) Muhammad hanyalah seorang rasul. Sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak akan mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun. Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”

Inilah ayat yang dibacakan oleh Sayyidina Abu Bakar RA yakni surat Ali Imran ayat 144, di tengah keaedihan dan ketidak percayaan para sahabat Nabi akan meninggalnya sang Nabi terakhir, terutama Umar Bin Khatab, “tidak mungkin Nabi itu meninggal, tidak mungkin!” teriaknya.

Kemudian Sayyidina Abu Bakar menambahkan “Saudara saudara, siapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah wafat, siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah Maha Hidup tidak pernah mati”. Apakah Risalah Islam berhenti? Lalu mati tidak berkembang dan menyebar? Berhenti penyebarannya hanya sampai wilayah jazirah Arab saja? Karena pembawa risalah-NYA atau utusannya telah wafat?

Bahkan jauh sebelumnya, setelah “Sang Singa Allah” Sayyidina Hamzah bin Abdul Muthalib terbunuh di medan perang Uhud, Sayidina Mush’ab Bin Umair “sang Da’i Pertama Islam” dan orang yang men-Islamkan Yatsrib menjadi kota Islam pertama juga gugur di medan perang Uhud dengan 70 syuhada lain. Kemudian, Abdullah Bin Rawahah, Ja’far bin Abu Thalib, dan Zaid Bin Haritsah Syahid di perang Mu’tah, kemudian 70 sahabat Ahlul Qur’an terbunuh di tangan orang-orang munafiq, apakah Muslimin semakin melemah kemudian kalah? Jawabannya tidak, tidak sama sekali. Justru setelah peristiwa itulah terjadi penaklukkan Khaibar dan Futuhat Mekkah, kemudian penakkukkan Thaif. Yahudi digulung. Mekkah dibebaskan.

Orang-orang kafir tidak akan mengerti bahwa syahid bagi tentara Muslim adalah cita-cita tertinggi, karena memang itulah hakikat kemenangan paripurna sebagai representasi dari puncak keimanan kepada Allah SWT.

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ

“Janganlah kamu mengira orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati. Mereka hidup, mendapatkan rezeki, di sisi Tuhan mereka.” (QS Ali Imran : 169)

Ingatlah saat peristiwa perang Mu’tah, ketika tentara kaum muslim hanya berjumlah 3000 orang melawan 250.000 tentara Romawi, jumlah yang timpang. Panglima perang Abdullah ibnu Rawahah yang diangkap sebagai panglima pertama berkata di depan pasukannya.

”Demi Allah, apa yang kalian takutkan? Sesungguhnya apa yang kalian takutkan adalah alasan kalian keluar dari pintu rumah, yakni gugur sebagai syahid di jalan Allah. Kita memerangi mereka bukan karena jumlahnya, bukan karena kekuatannya. Majulah ke medan perang, karena hanya ada dua kemungkinan yang sama baiknya, menang atau syahid!”

Begitu pula saat Panglima Perang Bani Ummayah yakni Thariq Bin Ziyad yang menaklukkan Spanyol/Andalusia, saat berpidato di sebuah Selat yang memisahkan Afrika dan Eropa, kini diabadikan dengan nama Selat Giblartar (Jabal Thariq).

Thariq memerintahkan para prajuritnya membakar semua kapal yang sebelumnya digunakan untuk mengangkut pasukan Muslimin dari Maroko ke Spanyol. Dia berupaya menunjukkan bahwa tidak ada jalan untuk melarikan diri. Hadapi yang terbentang di depan, yakni berjihad sepenuh jiwa dan raga, melawan musuh. Pilihannya hanya dua, meraih kemenangan atau gugur sebagai syuhada. Pidato Thariq, sebagaimana dikutip Ahmad Thomson dalam Islam Andalusia, antara lain sebagai berikut:

“Ke manakah kalian, wahai pasukan Muslimin, dapat melarikan diri? Musuh berada di depan, sementara lautan terbentang di belakang kalian? Demi Allah! Tak ada keselamatan bagi kalian kecuali dalam keberanian dan keteguhan hati.

Pertimbangkanlah situasi kalian: berdiri di sini bagaikan anak-anak yatim terlontar ke dunia.Kalian akan segera bertemu dengan musuh yang kuat, mengepung kalian dari segala penjuru bagaikan gelombang samudera yang bergejolak.

Maka buanglah segala ketakutan dari hati kalian. Percayalah, kemenangan akan menjadi milik kita dan percayalah raja kafir itu tak akan mampu bertahan menghadapi serangan kita.

Jika aku terbunuh sebelum mendekatinya (Roderick), jangan kalian bersusah payah karenaku.Tetaplah bertempur seolah aku masih hidup di tengah kalian. Sebab, kaum kafir ini saat melihat rajanya jatuh, pastilah akan kocar-kacir.

Jika aku terbunuh setelah menewaskan raja mereka itu, tunjuklah seseorang di antara kalian yang di dalam dirinya terdapat jiwa keberanian dan kecakapan pengalaman, mampu memimpin kalian dalam situasi genting ini.”

Jadi, usah bersedih dengan banyaknya para pejuang yang telah lebih dulu syahid, sesungguhnya para pejuang itu telah menemukan jalan pulang, syahid.

Wallahu a’lam bishawab
Bandung, 22 Oktober 2024/19 Rabiul Akhir 1446

Share artikel ini: