Para Menteri Sekuler Tidak Pantas Diterima Alasannya

 Para Menteri Sekuler Tidak Pantas Diterima Alasannya

Sebagian Muslim merayakan Humza Yusaf yang menjadi Menteri Pertama Skotlandia; mengutip potensi manfaat bagi masyarakat. Yang lain secara bulat mengutuknya karena pandangan liberalnya dan meninggalkan syariah. Diskusi segera berfokus pada keyakinan pribadinya, yang pada gilirannya menjadi gangguan dari masalah serius dari hukum syariah tentang berpartisipasi dalam pemerintahan sekuler.

Segala perkara dapat dan harus dirujuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya ﷺ:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

“Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang muslim.” [TQS 16:89]

Bukanlah hak orang-orang beriman untuk mengabaikan petunjuk Allah yang diwahyukan untuk mengejar keuntungan duniawi atau keuntungan yang diangan-angankan. Allah SWT berfirman:

وَلَوِ ٱتَّبَعَ ٱلۡحَقُّ أَهۡوَآءَهُمۡ لَفَسَدَتِ ٱلسَّمَـٰوَٲتُ وَٱلۡأَرۡضُ وَمَن فِيهِنَّ‌ۚ بَلۡ أَتَيۡنَـٰهُم بِذِڪۡرِهِمۡ فَهُمۡ عَن ذِكۡرِهِم مُّعۡرِضُونَ

“Seandainya kebenaran itu menuruti keinginan mereka, niscaya binasalah langit dan bumi serta semua yang ada di dalamnya. Bahkan, Kami telah mendatangkan (Al-Qur’an sebagai) peringatan mereka, tetapi mereka berpaling dari peringatan itu.” [TQS 23:71]

Kewajiban untuk memerintah dengan apa yang telah Allah wahyukan tidak bisa dipungkiri dan bukan masalah perbedaan. Namun, sejak munculnya sekularisme dan dominasinya di negeri-negeri Muslim di tangan kolonialis, telah menjadi umum bagi para cendekiawan untuk menawarkan alasan kepada para politisi yang ingin berpartisipasi dalam parlemen sekuler. Ini terlepas dari kenyataan bahwa dalam Islam tidak ada ulama yang memiliki otoritas untuk mengabaikan dalil-dalil Islam yang tegas dan jelas tentang masalah ini.

Parlemen sekuler memberi manusia otoritas legislatif, yang secara kategoris dilarang dalam Islam karena Allah adalah satu-satunya yang berdaulat dan hanya Dia-lah yang memiliki hak untuk membuat hukum.

وَلِلَّهِ غَيۡبُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَإِلَيۡهِ يُرۡجَعُ ٱلۡأَمۡرُ كُلُّهُ

“Milik Allahlah (pengetahuan tentang) yang gaib (di) langit dan (di) bumi. Kepada-Nyalah segala urusan dikembalikan.”[TQS 11:123]

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْك

“Hendaklah engkau memutuskan (urusan) di antara mereka menurut aturan yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Waspadailah mereka agar mereka tidak dapat memperdayakan engkau untuk meninggalkan sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” [TQS 5:49]

Tindakan memerintah dan menghakimi harus didasarkan pada Islam karena kita diperintahkan untuk memerintah dengan Islam dan dilarang memerintah dengan yang lain.

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Siapa yang tidak memutuskan (suatu urusan) menurut ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir. “[TQS 5:44]

Memerintah dengan selain Islam adalah salah satu hal yang paling serius dalam Islam dan tidak boleh dikesampingkan, apa pun manfaat yang dapat dibayangkan. Manfaat nyata dicapai dengan mengikuti hukum syariah, yang diambil dari sumber syariah dan bukan dari pemikiran.

Jika seorang Muslim yang menempatkan dirinya dalam posisi berkuasa harus menolak syariah atau melepaskan sebagian dari Islam untuk mempertahankan jabatannya, maka dia harus bertanya pada dirinya sendiri apakah posisinya itu lebih berharga daripada keridhaan Allah SWT atau apakah pengorbanan yang mungkin dia hadapi untuk membela Islam akan lebih menyakitkan daripada murka Allah.

Bahkan tindakan menerapkan aturan atau memberikan penilaian yang mirip dengan Islam pun dilarang, sebagaimana dalam hadits Rasulullah ﷺ:

وَمَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa memasukkan ke dalam urusan kita ini (yaitu ke dalam Islam) sesuatu yang bukan miliknya, maka itu harus ditolak”

Tindakan memerintah dengan selain dari apa yang Allah wahyukan adalah masalah serius dengan konsekuensi serius bagi orang yang melakukannya. Jika tindakan ini mencerminkan keyakinannya sedemikian rupa sehingga menunjukkan bahwa dia tidak percaya pada Islam dan dia melakukannya berdasarkan keyakinannya bahwa ketentuan Islam tidak valid, maka orang yang melakukan tindakan ini adalah orang kafir. Namun, jika ada orang yang melakukannya, tetapi mengakui bahwa Islam itu benar dan bahwa kita harus memerintah dengannya, dalam hal ini orang yang melakukan tindakan ini adalah orang yang zhalim dan fasiq tetapi bukan orang kafir. Allah juga berfirman dalam Surah Al-Maidah:

ومَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Siapa yang tidak memutuskan (suatu urusan) menurut ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.” [TQS 5:45]

ومَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Siapa yang tidak memutuskan (suatu urusan) menurut ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang fasik.” [TQS 5:47]

Mengetahui realitas penguasa yang memerintah dengan selain dari apa yang telah Allah wahyukan diperlukan untuk bisa menghakiminya dengan benar.

Penting untuk menarik perhatian pada fakta bahwa tidak dapat diterima adanya kelonggaran dalam mengatakan takfir terhadap orang lain. Siapapun yang lahir dari orang tua Muslim dianggap sebagai seorang Muslim. Untuk kemudian dihakimi sebagai kafir harus bergantung pada bukti-bukti definitif kekafiran. Bahkan jika 90% dari bukti-bukti tersebut menunjukkan kekafirannya dan 10% menunjukkan keislamannya, ia tidak dihakimi sebagai orang kafir. Sebaliknya, tindakannya dikejar dan dia dihakimi atas tindakan-tindakan yang bertentangan dengan syariah sebagai Fasiq (pembangkang), Aasi (tidak taat) atau Zalim (zalim), tetapi dia tidak dihakimi dengan kekafiran (Kufur) selama bukti pasti atas kekafirannya tidak ada.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

أيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا

“Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya wahai orang kafir, maka hal itu telah menimpa salah seorang di antara mereka.”

Kesimpulannya, memperdebatkan keyakinan pribadi para politisi dan penguasa seharusnya tidak menjadi gangguan dari kewajiban untuk memerintah dengan apa yang telah Allah wahyukan dan perlunya untuk menegakkan Khilafah yang berjalan di atas jalan kenabian. Tidak ada alasan yang harus ditawarkan kepada para politisi seperti itu, terlepas dari keyakinan pribadi mereka, karena semua partisipasi tersebut dilarang.

Membuat-buat alasan untuk ikut dalam parlemen sekuler dimulai dengan orang-orang seperti Muhammad Abdu dan muridnya Rashid Ridha yang mengeluarkan fatwa yang menyatakan “penerimaan seorang Muslim untuk bekerja di pemerintahan Inggris di India (dan yang lain yang serupa artinya) dan pemerintahannya oleh hukumnya adalah rukhsah (keringanan) yang termasuk dalam aturan melakukan yang lebih rendah dari dua kejahatan, jika itu bukan azimah (penerapan aturan asli) yang dimaksudkan untuk mendukung Islam dan melestarikan kepentingan umat Islam.” Fatwa semacam itu harus ditolak karena begitu banyak kesalahannya terungkap.

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا

“Tidaklah pantas bagi mukmin dan mukminat, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketentuan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka.” [TQS 33:36]

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *