Mediaumat.news – Menanggapi laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut Papua dan Papua Barat sebagai provinsi termiskin se-Indonesia, Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky yang merupakan putra daerah memberikan tanggapannya.
“Padahal daerah Papua punya berbagai kekayaan alam yang melimpah. Ada gunung emas di sana, ada tambang minyak bumi di sana, ada tambang gas di sana, ada kekayaan laut melimpah di sana, kenapa bisa jadi yang termiskin?” tanya lelaki yang lahir dan dibesarkan di Merauke tersebut kepada Mediaumat.news, Selasa (23/2/2021).
Menurut mantan sekretaris lurah di salah satu kelurahan Kota Sorong setamat STPDN pada 1995 tersebut, jika saja kekayaan alam yang ada di daerah itu digunakan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat, semestinya tak ada lagi rakyat miskin. “Andai saja emas itu digunakan untuk biaya pendidikan, mestinya orang Papua bisa mendapat fasilitas pendidikan terbaik, guru terbaik, teknologi terbaik, dan sarana lainnya yang terbaik,” ujarnya.
Ia menyebutkan, bila pendidikan baik, maka bisa mengangkat derajat kehidupan rakyat Papua. Tak perlu lagi jadi juara provinsi termiskin di Indonesia. Sebagaimana data BPS yang menempatkan Provinsi Papua dan Papua Barat ‘juara satu dan dua’ 10 provinsi termiskin di Indonesia seperti diberitakan cnbcindonesia.com pada 16 Februari 2021.
“Sudah saatnya kita mengelola kekayaan alam digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bukan untuk kemakmuran segelintir para konglomerat apalagi pihak asing. Para pejabat, mestinya bisa mencontoh bagaimana Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang hanya perlu waktu dua tahun dan 137 hari untuk memimpin dan membuat rakyatnya sejahtera. Padahal saat itu tambang minyak belum dieksplorasi,” tegasnya.
Empat Poin Penting
Terkait fakta daerah yang kaya sumber daya alamnya tetap penduduknya menjadi paling miskin tersebut, Wahyudi setidaknya mencatat empat poin penting.
Pertama, kekayaan alam dicengkeram sistem ekonomi serakah (kapitalisme). Melalui kewenangan pemerintah pusat, para kapitalis bisa mendapat izin dan mengeruk kekayaan alam itu untuk menumpuk kekayaan mereka. Sementara pemerintah daerah tak berdaya karena kewenangan pengelolaan kekayaan alam yang strategis ada di pusat. Daerah yang memiliki kekayaan alam itu tetap saja miskin.
“Ini menyedihkan. Kekayaan alam yang semestinya digunakan untuk kemakmuran rakyat justru dikuasai para konglomerat nasional maupun asing,” bebernya.
Kedua, sistem politik demokrasi yang super mahal. Dalam pesta demokrasi super mahal itulah momentum bertemunya dua kepentingan. Ada para pebisnis yang punya uang dan ingin mengembangkan bisnisnya, di sisi lain ada para politisi yang ingin meraih jabatan publik dan perlu dana politik.
Konsekuensinya, lanjut Wahyudi, para investor politik itu ikut mempengaruhi kebijakan publik. Tentu saja, mereka ingin kebijakan publik yang dikeluarkan bisa menguntungkan kepentingan bisnis mereka. Setidaknya kebijakan itu tidak mengganggu bisnis mereka. “Akibatnya kekayaan dinikmati kaum oligarki (para pengusaha dan para penguasa), rakyat tetap saja sulit mendapatkannya,” ungkapnya.
Ketiga, pejabat yang tersandera kepentingan politik. Banyak pejabat yang tidak fokus bekerja untuk kesejahteraan rakyat. Mereka sibuk untuk mempertahankan posisi jabatannya. Bahkan ada sebagian yang sibuk untuk memperbesar kekuasaan politiknya dan menaikkan level jabatan politiknya.
Semua itu, bebernya, membuat para pejabat sibuk bekerja menghidupkan mesin partai dan membiayai operasionalnya. Juga membangun relasi demi menjaga para investor politiknya untuk menghadapi biaya pesta demokrasi yang super mahal. “Semua itu membuat mereka sibuk dan gagal fokus untuk bekerja demi melayani dan menyejahterakan rakyatnya,” tegas Wahyudi.
Keempat, rakyat yang tak berdaya. Kekuatan rakyat yang terdiri dari berbagai kelompok ormas, kaum intelektual, kalangan ulama, kalangan aktivis lingkungan, aktivis kemanusiaan, tokoh masyarakat dan tokoh agama, dll. tampaknya tak berdaya.
“Betapa banyak para aktivis, ustaz, intelektual yang mencoba kritis dan menasehati rezim penguasa, malah dikriminalisasi. Sebagian lagi terpaksa mendekam dipenjara. Akibatnya kontrol atas kebijakan publik menjadi lemah. Kerusakan lingkungan pun sulit dihindarkan karena kebijakan yang lebih mengutamakan kegiatan bisnis dibanding masalah lingkungan. Seiring dengan itu, bencana pun datang silih berganti,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo