Panglima TNI Bolehkan Keturunan PKI Daftar TNI, Prof. Suteki: Upaya Moderasi Radikalnya Komunisme
Mediaumat.id – Pakar Hukum dan Masyarakat, Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. memandang ada upaya moderasi radikalnya komunisme di Indonesia di balik dibolehkannya keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI) mendaftar anggota TNI oleh Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa.
“Kebijakan ini dapat saya kategorikan sebagai bentuk kebijakan publik keenam sepanjang era Reformasi terkait upaya moderasi radikalnya komunisme di Indonesia,” ulasnya dalam segmen Tanya Profesor: Kritik Tajam Prof. Suteki Soal Keturunan PKI Boleh Masuk TNI, di kanal YouTube Prof. Suteki, Kamis (31/3/2022).
Guru Besar Fakultas Hukum Undip ini mempertanyakan, PKI dengan ideologi komunisme yang sangat radikal, mengapa pemerintahan negara kini terkesan hendak memoderasinya.
“Sehingga seolah terlupakan luka lama keganasan PKI yang membantai umat Islam, yang terdiri dari para santri, tokoh, ulama, dan para ustaz,” imbuhnya.
Prof. Suteki menduga adanya indikasi pelemahan radikalisme komunisme atau istilahnya moderasi komunisme, selain dugaan upaya mengaburkan sejarah kelam komunisme di negeri ini dari sisi kebijakan publik.
“Moderasi sebagai pemahaman sisi berlawanan dari radikalisasi. Moderasi berarti proses melunakkan keradikalan suatu pemikiran hingga sikap dan tindakan melalui berbagai sarana baik narasi maupun keputusan konkret,” bebernya.
Lebih lanjut ia menerangkan, komunisme itu paham yang radikal, revolusioner juga.
“Keradikalan komunisme di Indonesia pasca kegagalan pemberontakannya pada 30 September 1965 dapat kita deteksi hendak dilunakkan melalui berbagai kebijakan publik berupa keputusan dan putusan kelembagaan negara,” ujarnya.
Menurutnya, ada lima kebijakan publik selain diizinkannya anak keturunan PKI menjadi anggota TNI yang ditengarai sebagai bentuk moderasi komunisme di Indonesia. Pertama, upaya pencabutan TAP MPRS No. XXV 1966 telah dilakukan sejak Presiden Abdurrahman Wahid.
“Gus Dur mengusulkan pencabutan Ketetapan Majelis tentang pembubaran PKI dan pernyataan pelarangan pengembangan ide marxisme itu karena dianggapnya telah usang alias out of date,” cetusnya.
Kedua, tidak menjadikan TAP MPRS XXV 1966 sebagai pertimbangan dalam pembentukan RUU HIP pada tahun 2020.
“Kecurigaan saya terbukti ketika fraksi-fraksi pengusungnya sengaja menolak dimasukkannya TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang pembubaran PKI dan larangan menganut ideologi komunisme dan marxisme leninisme,” jelasnya.
Ketiga, hak dipilih dalam pemilu diberikan kembali berdasar Putusan MK Perkara No. 011-017/PUU-I/2003.
Keempat, penerbitan Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM (SKKPH) bagi orang-orang eks PKI oleh Komnas HAM.
“Kelima, upaya rekonsiliasi PKI sebagai korban’,” pungkasnya.[] Puspita Satyawati