Mediaumat.id – Aksi tebar ketakutan melalui apa yang disebut oleh sebagian masyarakat sebagai tindak bom bunuh diri di halaman Mapolsek Astana Anyar, Bandung pada Rabu (7/12) pagi, sebenarnya tidak dibenarkan secara syariah Islam.
“Kalau seperti yang kemarin itu dilakukan di Bandung ini ya, sebenarnya itu tidak dibenarkan secara syariah, itu tidak boleh,” ujar Pakar Fikih Kontemporer KH Muhammad Shiddiq al-Jawi dalam Kajian Soal Jawab Fikih: Hukum Menimbulkan Ketakutan di Masyarakat, Kamis (8/12/2022) di kanal YouTube Ngaji Subuh.
Pasalnya, di Indonesia saat ini tidak dalam kondisi perang. Dalam arti, perang kaum Muslim melawan orang-orang kafir.
Apalagi peristiwa yang Kiai Shiddiq sebut sebagai tindak bom manusia kemarin itu ditujukan ke sesama Muslim. “Kita ini bukan sedang dalam kondisi perang, apalagi itu sesama Muslim, ini tidak dibolehkan,” tegasnya kembali.
Diberitakan sebelumnya, dari insiden yang terjadi sekitar pukul 08.20 tersebut, 11 orang orang telah menjadi korban. Rinciannya 10 polisi dan satu warga sipil. Satu polisi bahkan meninggal dunia, setelah mengalami kritis.
Dua Kemungkinan
Lantaran itu, Kiai Shiddiq merespons lebih lanjut dengan memaparkan bahwa tindakan menimbulkan ketakutan di masyarakat, termasuk peristiwa bom manusia di Astana Anyar kemarin hukumnya itu ada dua kemungkinan.
“Setelah saya mengkaji fakta yang ada dan nash-nash syara’ yang terkait, nash-nash syara’ di sini maksudnya adalah nash atau teks dari Al-Qur’an atau Al-Hadits, maka kesimpulannya adalah bahwa tindakan menimbulkan ketakutan di masyarakat itu hukumnya itu ada dua kemungkinan,” ungkapnya, seraya menyampaikan hukumnya bisa haram atau malah mubah (boleh).
Artinya, kata Kiai Shiddiq, tergantung pada kondisinya seperti apa.
Untuk yang mengharamkan ia memberikan catatan, yaitu apabila yang menjadi sasaran adalah masyarakat sipil serta kondisinya tidak sedang dalam peperangan antara kaum Muslim dan kafir.
“Tidak boleh kalau sasarannya itu adalah masyarakat sipil dan pada saat dilakukan itu tidak dalam perang. Perang antara siapa? Antara kaum Muslim dan kaum kafir atau kaum non-Muslim,” terangnya.
Lantas bentuk aktivitasnya pun bermacam-macam. Bisa melalui teror mental ataupun yang bersifat fisik. Semisal, via telepon seseorang memberitahu di suatu tempat ada bom yang segera meledak. Atau yang sifatnya fisik, seperti mengebom, membakar aset-aset milik pribadi maupun umum.
“Atau bisa juga menimbulkan ketakutan yang diharamkan itu dilakukan dengan cara melakukan kejahatan seperti pembunuhan atau perampokan, penculikan, dsb.,” tambahnya.
Terkait dalil keharamannya, Kiai Shiddiq mengutip dari Al-Qur’an sekaligus Al-Hadits.
‘Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kerusakan/kebinasaan’ (QS al-Baqarah: 205).
Menurutnya, meski ayat itu termasuk kalimat berita, tetapi maknanya seakan-akan Allah SWT menyeru agar kaum Muslim tidak berbuat kerusakan. “Dengan demikian menimbulkan ketakutan di masyarakat itu haram hukumnya,” kata Kiai Shiddiq.
Sebabnya, menimbulkan kerusakan di muka bumi ini tidak hanya yang bersifat fisik tetapi juga secara umum. “Rasa takut yang muncul di masyarakat itu ya termasuk menimbulkan kerusakan,” jelasnya.
Adapun dalil dari Al-Hadits, ia menukil satu sabda Nabi dari sahabat beliau yang bernama Abdurrahman bin Abi Laila ra. yang artinya: ‘Tidak halal bagi seorang Muslim menakut-nakuti Muslim yang lain’ (HR Imam Abu Dawud, nomor 4351).
Walaupun, lanjut Kiai Shiddiq, aktivitas menakuti-nakuti dilakukan dengan sekadar pura-pura atau hanya bersenda gurau, yang belakangan biasa disebut oleh masyarakat dengan istilah prank.
“Ini harus dipahami tidak ada ketentuan syariat, tidak boleh seorang Muslim itu menimbulkan ketakutan pada Muslim yang lain walaupun itu hanya pura-pura,” cetusnya.
“Apalagi sungguhan, tentu tidak diperbolehkan lagi,” imbuhnya.
Boleh, Tetapi…
Selanjutnya, Kiai Shiddiq juga mengatakan, menebar ketakutan bisa menjadi boleh. “Menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat hukumnya bisa saja mubah,” ucapnya, dengan mengaitkan kebolehan dimaksud dengan kondisi perang atau jihad antara kaum Muslim dengan musuhnya yang non-Muslim.
Tindakan seperti itu, Kiai Shiddiq menyebutnya sebagai aktivitas menggentarkan atau menakut-nakuti musuh dengan cara mendemonstrasikan persiapan kekuatan militer dari umat Islam. Misalnya, latihan perang secara kolosal dan masif, berikut melakukan percobaan senjata nuklir atau peluncuran senjata roket atau semacamnya.
“Yang seperti ini, ini menimbulkan ketakutan yang dibolehkan secara syariah,” tegasnya, sembari merujuk QS al-Anfal ayat ke-60, yang artinya:
‘Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.’
Dengan kata lain, sebelum terjadinya peperangan, terdapat fase-fase semacam perang ‘urat syaraf’ yang dibolehkan secara syariah, bahkan diperintahkan oleh Allah SWT.
Untuk diketahui, negara kaum Muslim yang saat ini terlibat peperangan dimaksud antara lain, Palestina yang kondisinya memang sedang dijajah dan sedang melakukan perlawanan atas penjajah Israel.
“Mereka (kaum Muslim di Palestina) sedang dijajah sedang berperang melawan Israel. Nah boleh saja ini ada kegiatan dari kaum Muslim di Palestina atau di sekitarnya untuk menimbulkan rasa gentar, rasa takut di kalangan orang-orang Israel,” pungkasnya.[] Zainul Krian