Mediaumat.id – Pernyataan Kepala BNPT Rycko Amelza Dahniel yang mengusulkan agar pemerintah mengontrol semua tempat ibadah di Indonesia dengan tujuan agar tempat ibadah tidak menjadi sarang radikalisme dan selama ini disinyalir ada beberapa tempat ibadah yang mengkritik pemerintah, dinilai usulan yang offside dan mengkhianati amanat konstistusi.
“Usulan yang offside dan mengkhianati amanat konstitusi. Jika pemerintah mengawasi dan mengontrol rumah ibadah itu menabrak konstitusi,” ujar Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky kepada Mediaumat.id, Kamis (7/9/2023).
Menurut Wahyudi, mengontrol rumah ibadah jelas berpotensi menyebabkan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang dijamin oleh konstitusi melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, khususnya Pasal 28E Ayat (1), Pasal 28I, dan Pasal 29.
Pasal tersebut, kutip Wahyudi, menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Oleh karena itu, kata Wahyudi, semestinya negara justru menjamin agar semua warganya bisa memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai keyakinannya secara aman dan merdeka. Dan negara menjamin tak boleh ada gangguan maupun tekanan dari mana pun, termasuk negara.
“Termasuk pemerintah tidak boleh mencampuri masalah keyakinan warganya dan cara ibadahnya,” terangnya.
Wahyudi mengatakan, mengawasi rumah ibadah berarti mundur ke belakang seperti zaman kolonial. Di zaman penjajahan Belanda, pesantren dan rumah ibadah diawasi. Para tokoh agama yang tidak berpihak kepada penjajahan Belanda akan dituding ekstrimis dan dikriminalisasi.
Bahkan, terang Wahyudi, para ustadz dan para ulama juga diawasi, apalagi yang bergelar haji mendapat pengawasan yang lebih dari pemerintahan kolonial. Sampai-sampai pada 1859 muncul ordonansi, peraturan baru yang lebih ‘menyusahkan’ ibadah haji.
“Kini sudah 78 tahun merdeka. Para penjajah sudah pergi dari negeri ini. Lalu, kenapa pejabat pemerintahan kita malah mengusulkan ide seperti di masa penjajahan dulu? Jika di zaman kolonial, dituding ekstrimis, kini rumah ibadah dicurigai sarang radikal. Lalu apa bedanya?” tutur Wahyudi.
Kritik Pemerintah
Wahyudi menilai, kritik kepada pemerintah itu adalah tanda cinta. Bukan dipandang sebagai tanda radikal. Justru dengan kritik itu memberikan “alarm” tanda bahaya kepada pemerintah jika kebijakannya berbahaya atau merugikan rakyat dan negara.
Sebaliknya, ujar Wahyudi, bagi yang memuja-muji pemerintah meski kebijakannya tidak pro rakyat, maka itu patut diduga sebagai watak para penjilat yang akan menjerumuskan. Pemerintahan yang baik (good governance) tentu akan menjadikan kritik itu sebagai energi positif untuk memperbaiki kinerja dan pelayanan kepada rakyat. jika pemerintah melayani rakyat dengan baik dan rakyat merasakan kebaikannya maka yang akan keluar justru pujian, bukan kritikan.
Oleh karena itu, terangnya, pemerintah cukup melayani rakyat dengan baik, mencerdaskan, menyehatkan dan menyejahterakan rakyat, maka rakyat akan menikmatinya dan memujinya. Jika ada beberapa rakyat yang kurang puas dan melakukan kritik maka akan tertutupi oleh pujian dari sebagian besar masyarakat yang menikmati kehadiran pemerintahan yang baik.
Wahyudi membeberkan, dalam demokrasi, mengkritik itu adalah hak rakyat. Sedangkan mendengarkan kritik dan melayani rakyat itu adalah kewajiban pemerintah. Hanya dalam sistem otokrasi (kerajaan) rakyat dilarang mengkritik pemerintah.
“Jadi kalau di rezim saat ini menuding rakyat yang mengkritik sebagai radikal maka ini indikasi bahwa praktek pemerintahan ini bergerak dari sistem demokrasi menuju otokrasi. Dari pemimpin yang demokratis menjadi pemimpin yang otoriter,” katanya.
Soal kritik ini, Wahyudi menyebut, ada perbedaan mendasar dalam sistem demokrasi, otokrasi dan Islam. Dalam demokrasi, kritik dipandang sebagai hak rakyat yang boleh dilakukan (mubah). Sedangkan dalam otokrasi kritik dipandang sebagai hal terlarang yang tidak boleh dilakukan (haram) dilakukan oleh rakyat.
“Sedangkan dalam sistem Islam (Khilafah), kritik dipandang sebagai kewajiban rakyat yang harus dilakukan (fardhu). Tujuannya adalah untuk mengoreksi (muhasabah) kepada penguasa agar tidak membuat kebijakan yang keliru atau menyimpang dari hukum Allah SWT,” bebernya.
Semestinya, ujar Wahyudi, para penguasa negeri ini fokus melayani rakyat dengan sebaik-baiknya sehingga tidak ada celah sedikit pun bagi rakyat untuk bisa melakukan kritik.
“Dengan menjalankan pemerintahan yang baik maka ini meringankan tugas rakyat untuk melakukan kritik karena tak ada yang perlu dikritik. Jika hal itu terjadi maka yang akan muncul adalah pujian bukan kritikan,” pungkasnya.[] Agung Sumartono