Pamong Institute: Terjadi Dua Praktik Pengelolaan Bernegara di Negeri Ini
Mediaumat.id – Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky menilai terjadi dua praktik pengelolaan negara di negeri ini.
“Terjadi dua praktik pengelolaan negara di negeri ini. Kapitalisme dengan sistem demokrasinya yang memisahkan agama dari bernegara, dan juga mendekat kepada Cina yang berbasis komunisme,” tuturnya di acara Perspektif: Membincang Khilafah sebagai Solusi di Era Pemilu 2024, Sabtu (5/8/2023) melalui kanal Pusat Kajian dan Analisis Data.
Dua-duanya, menurut Wahyudi, berefek pada politik maupun sosial. “Kalau mendekat kepada komunisme, risiko yang diambil mencontoh sistem otoritarian. Makanya kalau kita lihat bandul sistem pemerintahan kita menuju ke arah pemerintahan otoriter. Ini dibuktikan dengan banyaknya undang-undang yang lahir cenderung berkiblat pada kepentingan-kepentingan segelintir orang sehingga banyak undang-undang yang di-perpu-kan,” ulasnya.
Ia melihat, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) yang muncul di era Jokowi menunjukkan bahwa praktik sistem pemerintahan demokrasi bergeser bandulnya ke arah sistem otoriter yang terpancar dari ideologi komunisme.
Timbulkan Persoalan
Menurutnya, dua praktik sistem politik pemerintahan yang berlaku di negeri ini dua-duanya menimbulkan berbagai persoalan baik di bidang ekonomi, politik, budaya, sosial dan seterusnya.
“Kita melihat dua-duanya sama-sama membahayakan bagi kehidupan di negeri ini, apalagi dalam konteks negeri ini mayoritasnya umat Islam,” nilainya.
Ia kemudian memberikan contoh dampak penerapan dua ideologi itu. “Kekayaan alam yang melimpah dikuras oleh perusahaan asing dan aseng melalui korporasi internasional, utang menggunung, rakyat dibebani dengan berbagai macam pungutan. Uang yang ada di saku rakyat pun dihisap,” bebernya.
Di bidang sosial, sambungnya, negeri ini dijajah oleh berbagai budaya asing termasuk L68T. Di bidang kemananan juga mengerikan. “Begal berkeliaran, negara terancam disintegrasi,” tambahnya.
Wahyudi merasa geram, karena dua ideologi yang merusak negeri ini justru keduanya menuding bahwa Islam dengan ajaran Islamnya sebagai sumber masalah.
“Mereka menuding Islam dengan ajaran Islamnya sebagai bahaya sehingga muncullah praktik-praktik program deradikalisme, islamofobia, pernyataan-pernyataan pejabat yang memproduksi narasi-narasi kebencian terhadap agama dan tentu orang-orang yang mengajak kepada Islam dituding radikal dan seterusnya,” sesalnya.
Berbagai produksi narasi negatif itu, katanya, diproduksi untuk memojokkan peran agama. Padahal yang memproduksi masalah adalah dua ideologi yang sedang berlaku yaitu kapitalisme dan komunisme. “Islam difitnah oleh dua ideologi ini, umatnya, ulama-ulamanya maupun aktivisnya dikriminalisasi,” sedihnya.
Membandingkan
Oleh karena itu, menurut Wahyudi, jika negeri ini akan mencari solusi, harus membandingkan antara solusi kapitalisme, komunisme dan Islam mana yang paling ideal untuk menjadi solusi.
Ia mengambil satu contoh perbandingan di bidang ekonomi. “Ketika menggunakan syariat Islam kekayaan yang melimpah yang saat ini dikuasai asing dan aseng harus dikembalikan sebagai milik umat. Kalau ini digunakan tidak ada rakyat Papua yang kelaparan di atas tanah yang kekayaannya melimpah,” ujarnya.
Membangun Kesadaran Umat
Untuk membangun kesadaran umat, menurut Wahyudi, ada dua hal yang mesti jadi perhatian. Pertama, dari politisi dan penguasa yang ingin mempertahankan posisi untuk menikmati buah praktik kapitalisme.
“Mereka yang menguasai berbagai barang tambang dan sumber daya alam kita, akan bertahan sekuat tenaga dengan membuat undang-undang yang melindungi mereka, menempatkan orang yang bisa menjaga kepentingan mereka, mendorong pejabat yang bisa duduk di kursi jabatannya untuk membuat kebijakan yang menguntungkan mereka dan seterusnya. Orang-orang ini, tidak akan setuju diterapkannya syariat Islam,” bebernya.
Kedua, dari masyarakat sendiri yang sebagian besar belum memahami betul bahaya dari praktik kapitalisme global seperti sekarang ini, dan bahaya dekat-dekat dengan investor dari ideologi komunis seperti negara Cina.
“Dua pihak ini harus dihadapi bersama, diberikan pemahaman bahwa ada sistem alternatif yang bisa menggantikan dua sistem tersebut yaitu sistem Islam. Diberikan penjelasan dengan baik, dengan cara yang ahsan, dengan cara dialektika yang bisa merubah pemahaman dengan kesadaran baru,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun