Pamong Institute: Tak Ada yang Salah dari Politik Identitas

Mediaumat.id – Direktur Pamong Institute Drs. Wahyudi al-Maroky, M.Si. mengatakan, tidak ada yang salah dengan politik identitas. “Tidak ada yang salah itu. Karena kita enggak boleh melawan yang namanya sunnatullah itu, enggak boleh dilawan,” ujarnya dalam Kajian Fikih: Politik Identitas, Menyerang Islam? di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn, Sabtu (9/7/2022).

Artinya di dalam berpolitik, preferensi atau cara pandang seseorang memang cenderung dilakukan melalui pendekatan identitas yang melekat pada masing-masing individu.

Apalagi secara makna, lanjutnya, politik identitas adalah sebuah paham atau aliran politik yang didasari pada persamaan-persamaan identitas tertentu.

Sebutlah identitas etnis yang menurut Wahyudi menjadi persoalan paling besar dan sering dijadikan alasan untuk diangkat sebagai politik identitas.

“Kalau ada calon kita orang dari etnis, suku tertentu maka biasanya, pemilihnya juga tidak jauh dari suku-suku itu,” terangnya dengan menyebut hal itu sebagai suatu yang lumrah.

Selain itu, identitas agama juga demikian. “Itu (agama) juga menjadi preferensi politik,” tukasnya.

“Kalau orang memilih calon tertentu atau bergabung dengan partai tertentu, biasanya preferensi, pandangannya, dari perspektif ‘dekat enggak dengan agama saya?’, atau ‘cocok enggak dengan agama saya?’,” urainya.

Sederhananya, ia mengaitkan dengan pertandingan sepak bola. “Kalau ada pertandingan sepak bola antara Indonesia melawan Thailand, misalnya. Kira-kira kalau Anda sebagai orang Indonesia, bangsa Indonesia, preferensi politik bolanya mendukung yang mana?” tanyanya.

“Walaupun tidak ikut main, pasti ingin mendukung yang preferensinya dekat dengan yang Anda kenal,” sahutnya, sembari mengatakan preferensi serupa juga berlaku terhadap tokoh politik yang maju menjadi pemimpin.

Sehingga tidak perlu mempersoalkan perihal yang menurutnya termasuk cara picik tersebut. Yaitu mempermasalahkan sebuah preferensi politik berdasarkan identitas.

Sebabnya begitu dikorek-korek, kata Wahyudi, justru makin meningkatkan ikatan emosional pihak terkait.

Begitu pun dari segi gender. Maksudnya, seorang kontestan pemilu pria memiliki kecenderungan menggandeng calon wakilnya yang perempuan, hanya sekadar mendulang suara mak-mak, misalnya.

“Dari pasangan itu sebenarnya sudah jelas punya preferensi politik identitas. Karena dia menggeret atau mengangkat isu politik gender,” jelasnya.

Namun dari kesemuanya itu, lanjut Wahyudi, politik identitas yang sekarang muncul dan makin dikembangkan, justru kepada perspektif agama.

Maka itu ia tak heran, ketika orang dituding membawa-bawa agama ke dalam politik, cenderung pula dianggap sedang mengembangkan politik identitas.

Padahal, sebenarnya ada maksud dan kepentingan tertentu dari pihak yang menyebut itu. “Kebanyakan para politisi kita juga bukan politisi sejati atau politisi yang sifatnya itu dia ideologis atau politisi sejati atau politisi yang memang mandiri. Tetapi kebanyakan politisi yang ingin berstandar ganda,” urainya.

Artinya, pihak berkepentingan dimaksud ingin melakukan politik sekularisme. “Dalam urusan politik jangan bawa-bawa agama. Tetapi boleh beragama? Harus beragama,” bingungnya.

Semisal agama dibolehkan dalam urusan doa atau sumpah jabatan saja dengan kitab suci yang biasanya diposisikan di atas kepala. Sedangkan untuk menjalankan aktivitas politik, tidak mau diatur agama.

“Bahkan bukan tidak mau, tidak boleh,” timpalnya.

Mereka memang mencoba memisahkan kehidupan beragama dari perpolitikan. Padahal terangnya, keberadaan agama sangatlah penting untuk memandu aktivitas politik supaya jangan salah arah.

Sementara tentang boleh tidaknya berpolitik dengan berdasar agama, ia mengatakan itu persoalan lain. Kendati begitu, faktanya di negeri ini, ketika seseorang akan menjadi politisi masih disumpah berdasarkan agamanya masing-masing.

Tetapi jikalau memang mau diperbesar serta mengambil keuntungan politik dari kepicikan tersebut, menurutnya tergantung juga pemerintahan saat ini. “Itu tergantung dari kebijakan politik yang ada sekarang,” tandasnya.

Sejak Zaman Penjajahan

Di sisi lain yang menurutnya umat perlu mengetahui, kompromi politik berpaham sekularisme sudah ada sejak terjadinya penjajahan di negeri ini.

Adalah Belanda, penjajah yang mengadakan kompromi dengan kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara kala itu. “Oke, untuk hukum yang sifatnya privat bagi umat Islam maka terkait dengan urusan cerai, nikah, waris, meninggal, pengurusannya semua tetap menggunakan hukum Islam,” bebernya.

Sedangkan hukum publik untuk mengatur urusan ekonomi, jual beli, perdagangan, pengaturan kekayaan alam, ungkap Wahyudi, harus memakai hukum Belanda.

Akhirnya muncul dua peradilan hukum ketika itu. Hukum agama yang terkait dengan hukum Islam, dan hukum pidana umum yang terkait dengan hukum Belanda,” ulasnya kembali menyayangkan, berkenaan dengan sekularisme yang hingga kini masih dipertahankan.

Tak ayal, politik identitas pun juga muncul dari situ. Orang-orang yang tidak bisa bekerja sama dengan Belanda, bakal dituding ektremis. “Satu dituding ektremis, yang lain dituding pro Belanda atau moderat,” cetusnya.

“Kalau dulu itu nenek moyang kita itu berpaham moderat, saya pikir negara ini tidak akan merdeka. Karena pasti cocok dan diterima Belanda,” senyumnya.

Sehingga baginya, stempel ekstremis ataupun radikal adalah perpanjangan tangan yang mengulang kebijakan seperti yang dilakukan penjajah Belanda. “Sekarang begitu juga, dituduh sebagai radikal,” tambahnya.

Oleh karena itu ia menekankan kepada umat, tudingan politik identitas yang akhir-akhir ini diangkat sebagai isu di tengah masyarakat, menunjukkan bahwa identitas negeri ini posisinya sedang ada persoalan.

“Kalau tidak ada persoalan, ya tidak perlu diangkat-angkat sebagai politik identitas. Itu normal-normal saja,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: