Pamong Institute Sebut Tiga Sebab Partisipasi Pemilih dalam Pilkada Anjlok
Mediaumat.info – Menyikapi data yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menyebutkan tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 anjlok hingga berada di bawah 70 persen, Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky menyebut tiga faktor penyebabnya.
“Saya mencatat minimal ada tiga faktor penyebab menurunnya partisipasi masyarakat dalam pemilu kada kali ini,” tuturnya dalam Bincang Bersama Sahabat Wahyu: Ini Tiga Alasan Partisipasi Pemilu Kada Anjlok, Jumat (6/12/2024) di kanal YouTube Bincang Bersama Sahabat Wahyu.
Pertama, tidak ada calon yang menarik perhatian atau yang bisa diharapkan masyarakat.
Kedua, kesadaran politik masyarakat semakin tinggi. “Mereka memilih orang bukan karena sentimen atau perasaan yang membuat mereka senang tetapi mereka mulai berpikir calon kali ini betul-betul bisa diharapkan oleh masyarakat atau tidak,” jelasnya.
Ketiga, faktor teknis semisal jauhnya tempat pemungutan suara (TPS) dengan rumah tinggal. “Tetapi di antara ketiga itu saya melihat faktor satu dan dua lebih dominan. Ini pengalaman buruk bahwa proses politik yang dilakukan oleh partai politik dalam menyodorkan kandidat perlu dikoreksi,” kritiknya.
Perbedaan Tajam
Wahyudi lalu membandingkan dengan pemilihan kepala daerah di dalam Islam. “Saya mengkaji sistem pemerintahan dari berbagai model, kemudian saya bandingkan dengan mekanisme yang dilakukan oleh Nabi SAW dan para khalifah dulu, memang ada perbedaan yang sangat tajam,” ungkapnya.
Ia melanjutkan, yang sangat mencolok adalah dalam kepemimpinan hari ini kepala daerah itu dipilih oleh masyarakat lagi yang sebelumnya masyarakat sudah memilih kepala negara.
“Padahal secara filosofis, masyarakat itu yang punya kekuasaan sudah menyerahkan kekuasaannya kepada kepala negara yang mereka pilih untuk mengurus mengatur dan melayani mereka. Semestinya kepala negara itulah yang menunjuk pembantu-pembantunya termasuk wakil-wakilnya yang bisa membantu di pusat maupun di daerah,” bebernya.
Menurut Wahyudi, seharusnya kepala daerah ditunjuk oleh kepala negara yang sudah dipilih rakyat.
“Dalam pemerintahan Islam yang dilakukan oleh Nabi SAW di Madinah, Nabi SAW mengangkat para gubernur. Diangkat saja karena Nabi SAW sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan kala itu. Jadi tidak menyuruh lagi masyarakat untuk memilih berkali-kali,” terangnya.
Jadi, ucapnya, ketika masyarakat sudah memilih sosok seorang kepala negara atau kepala pemerintah maka dialah yang harus bertanggung jawab menunjuk wakilnya di daerah maupun di pusat, pembantunya di daerah maupun di pusat.
“Khulafaur Rasyidin maupun para khalifah setelahnya, mereka mengangkat kepala daerah baik gubernur (wali ataupun amil, istilah dalam Islam) itu diangkat langsung oleh khalifah (kepala negara) dengan mendengarkan aspirasi dari majelis umat atau majelis wilayah. Majelis umat itu wakil rakyat yang ada di pusat, majelis wilayah itu wakil rakyat yang ada daerah,” urainya.
Wahyudi berharap, harus mulai dipikirkan mencari sistem alternatif yang menjadi pilihan agar pemilu tidak berbiaya mahal dan tidak ditunggangi oligarki untuk memuluskan calon-calon kepala daerah yang ujung-ujungnya melayani oligarki, bukan melayani rakyat.
“Kita tidak perlu fobia belajar dari sistem pemerintahan Islam yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah,” pungkasnya.[] Umi Arief
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat