Pamong Institute: Negeri Ini Perlu Sistem Pemerintahan Baru
Mediaumat.id – Direktur Pamong Institute Drs. Wahyudi Al Maroki, M.Si. menyampaikan, negeri ini memerlukan sistem baru dalam hal pemerintahan negara.
“Menurut saya kita memerlukan sistem yang baru untuk mengoreksi sistem yang lama,” ujarnya dalam Perspektif PKAD: Pengganti Anies Bermotif Politis Pro Oligarki??!! di kanal YouTube Pusat Kajian dan Analis Data, Rabu (19/10/2022).
Pertimbangannya, lanjut Wahyudi, checks and balances atau saling mengontrol, menjaga keseimbangan antara lembaga-lembaga negara atau yang biasa disebut dengan cabang-cabang kekuasaan negara saat ini sudah dikendalikan kaum oligarki.
“Lembaga-lembaga itu nyaris semaunya dikendalikan bahkan dikuasai oleh kaum oligarki,” terangnya.
Artinya, di dalam sistem demokrasi yang diterapkan saat ini hampir tidak ada pejabat publik satu pun yang diangkat menjadi penguasa secara politik, lantas terbebas dari kepentingan oligarki.
Menurutnya, hal ini dikarenakan biaya politik dalam sistem tersebut mahal. Sebutlah proses yang di dalamnya menyertakan kesepakatan-kesepakatan ‘jahat’ yang bisa berlanjut hingga pasca penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu).
“Ada istilah utang budi, utang ekonomi, utang politik kepada konstituen dan rakyat; dan utang politik kepada para investor politik,” ungkapnya.
Kendati sistem demokrasi memberikan kewenangan kepada lembaga-lembaga negara untuk melakukan kontrol kekuasaan, menurut Wahyudi, tetap saja menjadi persoalan besar.
Sebabnya, pengaruh kaum oligarki sudah masuk ke seluruh sendi-sendi pemerintahan. “Nyaris tidak ada lembaga pemerintahan yang bersih dalam koridor demokrasi itu dari praktik korupsi karena tekanan oligarki itu ” tandasnya, dengan menyebutkan hal itu sebagai salah satu konsekuensi dari biaya politik yang mahal.
Celakanya, tambah Wahyudi, persoalan itu juga terjadi di kalangan eksekutif berikut para menterinya. “Dua menterinya Pak Jokowi itu sudah tertangkap KPK yang tersandung kasus korupsi. Ada Juliari Peter Batubara dari PDIP maupun ada Menteri Kelautan (Edhy Prabowo),” ulasnya.
Pun dari legislatif yang bahkan jauh lebih banyak lagi. “Saya lihat kader-kader partai tertangkap korupsi oleh KPK,” tukasnya.
Dengan kata lain, hampir semua partai sudah menyumbangkan kader-kader terbaiknya untuk ikut berpartisipasi dalam kasus tindak pidana korupsi dan sudah tertangkap KPK.
Makanya, lanjut Wahyudi, checks and balances dimaksud dalam sistem demokrasi tidak akan berjalan baik. Meski sekali lagi, kekuatan civil society atau kekuatan rakyat diberikan ruang sekalipun.
Pasalnya pintu pengawasan roda pemerintahan telah ditutup dengan undang-undang atau aturan yang bisa melegalkan sesuatu yang awalnya tidak legal. “Itu menurut saya salah satu kelemahan dalam sistem demokrasi,” tuturnya.
Lantas berkenaan dengan lebih dari 200 penjabat (Pj.) pengganti kepala daerah yang habis masa jabatannya, karena pilkada baru akan diselenggarakan serentak pada tahun 2024, menurut Wahyudi pun sama.
“Siapa yang duduk di posisi sekarang ini posisinya juga rawan diintervensi dan dikriminalisasi,” ujarnya.
Kalaupun secara politik tidak mau ditekan, maka bisa jadi berjalanlah proses hukum. “Itu yang sering kita bilang kriminalisasi,” cetusnya, seraya mengatakan bahwa suka tidak suka penjabat dimaksud akhirnya bakal sulit menghindari sebagai pelayan kepentingan oligarki maupun para politisi yang ingin bertarung di pesta demokrasi 2024.
“Artinya di tahun 2023 nanti itu posisi-posisi penjabat kepala daerah itu sangat strategis. Karena tadi bisa ikut mengatur, ikut mengurus bahkan ikut memberikan andil baik secara politik maupun secara ekonomi dalam pesta demokrasi yang dilaksanakan 2024 nanti,”
Kewajiban
Oleh karena itu, sambung Wahyudi, keberadaan sistem baru untuk mengoreksi yang lama menjadi keniscayaan, dengan langkah tetap menyampaikan pendapat untuk kemudian dilakukan perubahan ketentuan perundangan.
“Walaupun diabaikan, walaupun dicuekin, tetapi melakukan koreksi, muhasabah dan menyampaikan pendapat supaya meluruskan kebijakan-kebijakan keliru itu harus dilakukan,’ tuturnya, sembari menyebutkan bahwa menyampaikan koreksi dimaksud bukanlah hak tetapi kewajiban bagi setiap Muslim.
Itu berarti, ketika melihat kebijakan penguasa yang keliru atau bahkan bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, maka seluruh umat Islam wajib melakukan koreksi, tanpa kecuali.
Sehingga ia berharap ketika rakyat melayangkan kritik dan saran terhadap jalannya pemerintahan, tidak lantas kemudian dikriminalkan atau dituding radikal, bahkan dicap teroris.
Dan yang tak kalah penting, sikap dan karakter aparat penegak hukum juga harus pro kepada kepentingan rakyat, bukan pelayanan terhadap kaum oligarki. “Kalau itu bisa diperbaiki saya pikir negeri ini akan jadi lebih baik ke depan,” pungkasnya.[] Zainul Krian