Mediaumat.info – Mengukur seberapa kuat pertahanan dan keamanan Indonesia, Direktur Pamong Institute Wahyudi Al-Maroki menyebut hampir di semua lini negeri ini tak memiliki sistem pertahanan yang bisa membendung serangan.
“Hampir semua lini kita tidak punya pertahanan yang bisa membendung ancaman maupun invasi atau serangan dari luar,” ujarnya dalam Dialogika: Diskusi Debat Capres-Cawapres Tiga, Selasa (8/1/2024) di kanal YouTube GEMA Pembebasan.
Adalah seluruh lini meliputi aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, pertahanan dan keamanan negeri ini, menurutnya, telah jebol oleh serangan dari luar.
Maka itu seorang pemimpin, terlebih ketiga capres yang usai berdebat dengan tema pertahanan, keamanan, hubungan internasional, globalisasi, geopolitik dan politik luar negeri, yang digelar Ahad (7/1) kemarin, seharusnya tak sekadar memiliki cara pandang secara rasional, tetapi lebih ke spiritual.
Pasalnya, sebagaimana rilis Pew Research Center lewat surveinya, The Global God Divide (2020) mengatakan bahwa Indonesia yang berada di peringkat teratas atau merupakan negara paling religius, kata Wahyudi, seharusnya memiliki unsur-unsur spiritual dimaksud.
“Itu yang kering sekali saya lihat. Kering dari unsur-unsur spiritualitas, apalagi ideologis,” ulasnya.
Artinya, sistem pertahanan dan keamanan suatu negara yang memang tak bisa lepas dari persoalan ancaman, bakal lebih kuat sehingga negara pun senantiasa aman.
“Kalau (sistem) pertahanannya lebih kuat daripada ancaman, insyaAllah negaranya akan aman,” cetusnya.
Tak Terlindungi
Namun, meski mengacu pada konstitusi yang salah satu tujuan mendirikan bangsa ini adalah untuk melindungi segenap tumpah darah, tetapi sekali lagi menurut Wahyudi, secara keseluruhan belum optimal tercapai.
“Hampir seluruh aset-aset kita itu tidak terlindungi,” sambung Wahyudi. Bahkan generasi muda Indonesia secara umum kesulitan, kalau tak boleh mengatakan tidak bisa, mengakses kekayaan-kekayaan alam negeri ini.
Celakanya, terhadap serangan yang sudah merangsek ke berbagai lini tersebut, justru terkesan tak ada penolakan atau perlawanan berarti.
Karenanya, mengenai anggapan Indonesia kuat karena tak terjadi perang atau konflik fisik sebagaimana di wilayah Gaza, Palestina, yang melibatkan entitas penjajah Yahudi di dalamnya, kata Wahyudi, hal ini perlu diluruskan.
“Justru karena tidak ada itu, tampaknya kita tenang-tenang saja, dan tidak ada keributan di dalam negeri,” ulasnya.
Dengan kata lain, anggapan sistem pertahanan Hamas di Gaza yang lemah dalam menghadapi kebrutalan entitas Zionis Yahudi, justru menurut Wahyudi, menunjukkan kekuatan kelompok pembebasan tersebut, karena meski kecil, Hamas mampu melakukan perlawanan.
“Itu sangat kuat, karena bisa melawan. Sementara kalau kita perhatikan di negeri ini praktis tidak ada perlawanan,” tandasnya, yang berarti secara tak langsung menunjukkan kelemahan negara ini.
Maka itu, ancaman dan serangan terhadap aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, pertahanan dan keamanan negeri ini, harusnya dijadikan titik fokus evaluasi dan perubahan.
Sebutlah di antaranya dari segi politik dengan sistem demokrasi liberalnya, yang menurut Wahyudi, justru jauh dari nilai-nilai bangsa ini. “Praktis ini sudah jebol, tidak ada perlawanan sama sekali,” tandasnya.
Begitu pula dari segi ekonomi. Meski ada pihak yang menyinggung tentang ideologi Pancasila, tetapi negeri ini secara fakta menggunakan kapitalisme yang juga liberal.
Pun demikian mengenai sosial budaya. “Sosial budaya pun sama. Dari Eropa hingga Korea,” tambahnya, sembari mengaitkan sikap aneh senator dari Bali tempo hari yang justru mempermasalahkan kerudung Muslimah sebagai budaya Timur Tengah.
“Yang dipraktikkan sekarang itu budaya kapitalisme, di negeri ini, tetapi yang dianggap ancaman malah budaya Timur Tengah,” pungkasnya.[] Zainul Krian