Pamong Institute: Karakter Rezim Seperti Penjajah Belanda

 Pamong Institute: Karakter Rezim Seperti Penjajah Belanda

Mediaumat.id- Terkait usulan agar pemerintah mengontrol semua tempat ibadah termasuk masjid di Indonesia, Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroki menilai, rezim dalam hal ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memiliki karakter seperti penjajah Belanda.

“Sudah 78 tahun merdeka tetapi masih ingin memiliki karakter seperti penjajah Belanda yang ingin mengawasi masjid, ingin mengawasi rumah ibadah, ingin mengawasi sekolah,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Rabu (6/9/1023).

Seperti diberitakan sebelumnya, ide ini disampaikan Kepala BNPT Rycko Amelza Dahniel dalam rapat dengan Komisi III DPR, Senin (4/9/2023). Dia menanggapi pernyataan anggota DPR Komisi III Fraksi PDIP Safaruddin.

Safaruddin mengulas karyawan BUMN yakni PT KAI yang menurutnya terpapar radikalisme. Berdasarkan pengamatannya, terdapat masjid di BUMN kawasan Kalimantan Timur yang setiap hari mengkritik pemerintah.

“Ya memang kalau kami di Kalimantan Timur Pak, ada masjid di Balikpapan itu Pak, itu masjidnya Pertamina, tapi tiap hari mengkritik pemerintah di situ Pak, di dekat Lapangan Merdeka itu,” ujar politikus PDIP itu.

Masih menurut pemberitaan, BNPT juga mengaku telah melakukan studi banding di negeri jiran Singapura dan Malaysia serta negara-negara yang jauh, yakni di Oman, Qatar, Arab Saudi, serta negara di Afrika Utara, yakni Maroko.

“(Di negara-negara itu) semua masjid, tempat ibadah, petugas di dalam yang memberikan tausiyah, memberikan khotbah, memberikan materi, termasuk kontennya di bawah kontrol pemerintah,” kata Rycko Amelza Dahniel dalam rapat.

Islamofobia

Lebih lanjut, Wahyudi juga menilai, BNPT tengah mengidap islamofobia. “Ada istilah mengidap islamofobia atau ketakutan terhadap Islam, atau terpapar islamofobia,” sebutnya.

Tak hanya itu, rezim saat ini pun dinilainya otoriter. “Sekaligus rezim ini menunjukkan bahwa rezim yang anti kritik itu rezim yang bertopeng demokrasi tapi berkarakter autokrasi atau otoriter,” ucapnya,

Celakanya pula, apa bila kebijakan mengontrol tempat ibadah dengan tujuan agar tak menjadi sarang radikalisme benar-benar dilakukan, berarti pemerintah telah menabrak konstitusi. “Itu bahasanya menabrak konstitusi,” imbuhnya.

Lebih dari itu, kata Wahyudi, pemerintah telah mengkhianati amanat konstitusi terutama Pasal 29 yang sangat jelas mengamanatkan negara untuk berkewajiban menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Tanda Cinta

Menurut Wahyudi, suatu kritik, semisal kepada pemerintah, merupakan tanda cinta kepada negeri. “Sebenarnya kritik kepada pemerintah itu adalah tanda cinta, jadi bukan tanda radikal,” sebutnya.

Ibarat alarm, tambahnya, kritik bisa memberikan tanda bahaya bagi pemerintah apabila secara kebijakan memang tak disukai atau justru merugikan rakyatnya.

Lantaran itu, ia berharap, berangkat dari suatu kritik, sebagaimana amanat konstitusi di antaranya bertugas melindungi, mencerdaskan serta menyejahterakan segenap rakyat, misalnya, pemerintah tak keliru dalam melayani rakyatnya.

“Kalau rakyat mengkritik, berarti ada kebijakan yang tidak mengarah kepada kecerdasan, tidak mengarah kepada perlindungan rakyat, tidak mengarah kepada peningkatan kesejahteraan,” terang Wahyudi.

Dengan demikian, pemerintah harusnya memandang suatu kritik sebagai energi positif untuk memperbaiki kinerja hingga terwujudlah apa yang disebut kondisi masyarakat ideal.

Tiga Pandangan

Di saat yang sama, ia pun memaparkan setidaknya tiga pandangan berbeda terhadap aktivitas mengkritik, mulai dari sistem demokrasi, autokrasi dan Islam. “Saya kira ada tiga perbedaan yang itu sangat penting buat kita pahami,” cetusnya.

Pertama, di dalam sistem demokrasi, aktivitas mengkritik penguasa dianggap sebagai hak rakyat. “Hukumnya boleh-boleh saja, karena hak itu boleh dipakai, boleh tidak,” tukasnya.

Kedua, dalam konteks sistem autokrasi, mengoreksi atau mengkritik penguasa hukumnya tidak boleh atau terlarang.

Ketiga, dalam pandangan sistem Islam, justru aktivitas semacam melakukan muhasabah kepada penguasa hukumnya wajib.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *