Mediaumat.id – Direktur Pamong Institute Wahyudi Al-Maroky mengatakan, Islam hanya mengenal dua model hukum.
“Dalam Islam hanya dikenal dua model hukum, hukum Allah dan hukum jahiliah,” ungkapnya dalam acara Kajian Politik Islam: The Rule of Law dalam Sistem Khilafah? melalui kanal YouTube Khilafah Channel Reborn, Sabtu (27/8/2022).
Wahyudi merujuk Al-Qur’an surah al-Maidah ayat 50, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?”
“Dalam perspektif ini, hukum yang dibuat selain Allah maka masuk hukum jahiliah, apa pun bentuknya. Apakah dibuat Yunani, Prancis, Belanda, sepanjang tidak diturunkan oleh Allah maka disebut hukum jahiliah,” tegasnya.
Jauh dari Prinsip Adil
Hukum jahiliah tersebut, menurut Wahyudi, jauh dari prinsip adil, karena berpihak pada kepentingan pembuat hukum. “Adil kalau diserahkan pada manusia akan subyektif. Keadilan penjajah tentu berbeda dengan keadilan rakyat yang terjajah,” terangnya.
Ini berbeda dengan adil perspektif Islam. Standar untuk menentukan adil itu hukum syariat yang diturunkan Allah SWT. Pencipta manusia. Qadhi (hakim) hanya memutuskan sesuai dengan ketetapan syariah.
Pembuat Hukum
Wahyudi mengatakan ditinjau dari sisi pembuat hukum, dalam sistem sekuler ada otokrasi ada demokrasi.
“Kalau itu otokrasi ditentukan oleh satu orang saja (raja). Di situ hanya ada dua pasal. Pasal 1, raja tidak bersalah. Pasal 2, kalau raja bersalah lihat pasal 1. Selesai urusannya,” ucapnya.
Inilah, lanjut Wahyudi, yang kemudian dikoreksi dengan sistem demokrasi. Hukum tidak ditentukan oleh satu orang tapi ditentukan oleh rakyat banyak. Ketika hukum dibuat oleh rakyat, berarti rakyat berdaulat.
“Padahal faktanya tidak mungkin rakyat membuat hukum secara bersama-sama. Mereka lalu mengakali dengan sistem perwakilan yang saat ini dikenal dengan istilah DPR,” terang Wahyudi.
Mahal
Wahyudi menilai, biaya membuat hukum dalam sistem demokrasi sangat mahal, lebih mahal dari otokrasi.
“Wakil rakyat berkumpul berhari-hari untuk membahas rancangan undang-undang dengan biaya sangat mahal. Sudahlah mahal, produk hukumnya kebanyakan bertentangan dengan kehendak mayoritas rakyat karena yang muncul kepentingan wakil rakyat itu sendiri atau oligarki yang membiayai,” jelas Wahyudi.
Ia memberikan contoh produk hukum yang merugikan rakyat iru seperti UU Minerba dan UU Omnibuslaw.
Unik
Wahyudi menilai, berbeda dengan sistem hukum demokrasi, sistem hukum Islam itu unik. “Pembuat hukumnya tidak ditentukan oleh satu orang raja atau rakyat banyak, tapi oleh Pencipta raja dan Pencipta rakyat yaitu Allah SWT,” ungkapnya.
Jadi, lanjut Wahyudi, tidak perlu membuat hukum yang bertele-tele dengan biaya mahal, cukup lihat dalam Al-Qur’an, sunah dan ijmak sahabat. “Kecuali untuk hukum yang sifatnya praktis dan belum diatur secara detail dalam Al-Qur’an dan sunah, di situ boleh ijtihad dengan ijtihad yang tidak bertentangan dengan prinsip Al-Qur’an dan sunah. Dan ini jumlahnya sedikit,” imbuhnya.
Bertele-tele
Wahyudi berpendapat dalam prakteknya pun hukum sekuler bertele-tele. Kalau ada orang mencuri misalnya, ditangkap, ditahan, di BAP, disidangkan. “Sidangnya juga berkali-kali. Setelah dinyatakan bersalah masih bisa banding,” tambahnya.
Biaya mulai dari penangkapan sampai dipenjara semua dibebankan kepada negara. “Jadi sangat aneh kalau kita mempertahankan hukum sekuler yang sangat bertele-tele, tidak efisien, tidak efektif serta merugikan negara,” tandasnya.
Islam
Menurut Wahyudi, ini berbeda dengan hukum Islam. Dalam Islam semua manusia memiliki kedudukan hukum yang sama. Keputusan qadhi langsung inkrah (memiliki kekuatan hukum tetap) tidak ada banding. “Ini sangat simpel, efisien dan efektif serta menimbulkan efek jera,” tegas Wahyudi.
Ia lalu mencontohkan, seorang pencuri apabila terbukti mencuri yang memenuhi kadar nishab pencurian ia akan dipotong tangan, diobati dan dipulangkan. “Kalau ini dilakukan, sangat efisien biayanya serta menimbulkan efek jera di tengah masyarakat,” tukasnya.
Pernah Diterapkan
Wahyudi mengatakan, hukum Islam ini bukan perkara baru di negeri ini. Sebelum penjajah datang hukum yang berlaku di negeri ini adalah hukum adat dan hukum Islam.
“Ini yang kemudian digusur oleh KUHP Belanda setelah penjajah datang, yang jika diurut sanadnya akan sampai ke Yunani. Kalau hukum Islam sanadnya sampai ke Rasulullah SAW,” bandingnya.
Satu hal lagi yang ditekankan Wahyudi, ada satu prinsip hukum Islam yang tidak ada bandingannya dibanding dengan hukum sekuler.
“Lebih baik membebaskan orang yang bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah. Jadi semangatnya semangat membebaskan bukan semangat menghukum. Sementara dalam hukum sekuler semangatnya menghukum. Hal itu bisa dilihat dari undang-undang yang ada selalu disertai ancaman hukum,” beber Wahyudi.
Kata Wahyudi, hukum Islam itu berfungsi menertibkan, mengatur sehingga membuat orang lebih damai serta menciptakan keadilan, keamanan, ketertiban dan mewujudkan kesejahteraan.
“Ini yang publik harus tahu, hukum Islam terbukti selama berabad-abad menciptakan kesejahteraan. Tapi yang kompatibel menerapkan hukum Islam ya hanya sistem (pemerintahan) Islam yaitu khilafah,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun