Mediaumat.id – Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky mengajak masyarakat untuk optimis menghadapi 2023.
“Tahun 2022 kita melewati masa-masa sulit, masa-masa kelam, ketidakadilan, ketidakjujuran. Tentu kita tidak ingin memperpanjang itu, kita berharap di 2023 ada titik cerah. Meski titiknya kecil, kita perbesar, harus penuh optimis dengan cara berdakwah mengajak masyarakat menuju lebih baik,” ungkapnya di acara Bincang Bersama Sahabat Wahyu: Refleksi Akhir Tahun 2022, Senin (2/1/2023) melalui kanal YouTube MNFTV.
Menurutnya, banyak peristiwa kelam terjadi pada 2022. “Masalah pemerintahan, hukum, ekonomi, keuangan. Dalam pemerintahan lebih parah lagi. Negeri ini jauh dari rasa keadilan. Pengadilan memang banyak, penegak hukum juga banyak tapi rakyat tidak mendapatkan keadilan,” kritiknya.
Wahyudi menuturkan, banyak sekali korupsi yang dilakukan aparat, banyak aparat yang terkena OTT. “Sayangnya ini malah direspons oleh salah satu pejabat publik agar KPK jangan suka OTT. Artinya ia mendukung koruptor untuk tidak ditangkap. Ini gimana?” tuturnya heran.
Di bidang hukum, meski akhir tahun ini KUHP yang baru disahkan, tapi semangatnya lebih kolonial dibanding Belanda. Wahyudi memberikan contoh pasal 188.
“Pasal 188 ayat 1 disebutkan siapa saja yang menganut paham, mengembangkan paham komunisme, marxisme, leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila maka dapat dihukum 4 tahun. Frasa ‘paham lain’ ini berbahaya karena seperti cek kosong yang bisa diisi apa saja sesuai kehendak penguasa,” khawatirnya.
Di ayat 2, lanjutnya, dijelaskan kalau itu disampaikan di muka umum dan menimbulkan kerusuhan atau kegaduhan maka dapat dipidana 7 tahun. Di ayat 3 kalau kerusuhan itu menimbulkan kerusakan harta benda maka bisa dipidana sampai 10 tahun. Kalau dalam kerusuhan itu menimbulkan cacat berat maka bisa dihukum 12 tahun, bahkan kalau menimbulkan korban jiwa maka dihukum sampai 15 tahun. “Ini kan semangatnya menghukum terus,” tukasnya.
Wahyudi mengatakan, kalau hukumnya sudah tidak adil atau dzalim pasti keadilan sulit ditegakkan. “Dzalim itu bukan hanya maksiat, tapi sekadar tidak patuh saja pada hukum Allah, itu sudah dzalim. Tidak memutuskan perkara dengan hukum yang Allah turunkan, itu dzalim,” tegasnya.
Berhasil?
Wahyudi menegaskan ukuran sebuah negara dikatakan berhasil jika pertama, bisa menjamin keamanan rakyatnya. Kedua, bisa mencerdaskan rakyatnya. Ketiga, bisa menyejahterakan rakyat. Keempat, bisa membahagiakan rakyat.
“Dari tiga indikator pertama saja negara ini jelas belum berhasil karena rakyat belum merasa aman. Kejahatan, kriminalitas ada di mana-mana. Ini bukti negara gagal menjamin kemanan rakyat. Dari sisi mencerdaskan masih banyak anak yang putus sekolah. Dari sisi kesejahteraan, rakyat belum sejahtera, stunting terjadi di mana-mana bahkan Papua penghasil tambang emas pun masyarakatnya miskin banyak stunting. Berarti negara gagal,” simpulnya.
Wahyudi menilai, kegagalan ini karena memang dikondisikan seperti itu oleh para oligarki yaitu mereka yang berkuasa dan mereka yang memiliki kekuasaan finansial.
“Negara ini digunakan oleh mereka untuk kepentingan bisnis mereka dan kepentingan kekuasaan mereka. Alhasil, kalau pun rakyat sedang menderita semisal terkena covid-19, mereka tetap untung, mereka bisa mengeluarkan kebijakan harus tes PCR, APD dan lain-lain yang ujungnya mereka mendapatkan keuntungan besar,” kesalnya.
Jadi, sambungnya, kemiskinan ini ada secara sistemik yaitu menggunakan sistem sekuler dengan pemerintahan demokrasi yang memberi ruang kepada manusia untuk membuat aturan sesuka mereka sehingga para oligarki bisa memainkan bisnis mereka, memperpanjang kekuasaan mereka.
Solusi
“Kalau masalah ini mau diselesaikan harus menghentikan oligarki dan sistem sekuler yang diterapkan saat ini, serta menawarkan sistem Islam sebagai penggantinya,” ungkapnya memberikan solusi.
Caranya dengan berdakwah mengajak masyarakat menuju ke arah yang lebih baik. Rakyat harus diberi kesadaran untuk kembali pada solusi Islam. Ada dua sasaran dakwah, pertama mengajak masyarakat supaya sadar dengan sistem Islam, kedua berdakwah kepada penguasa agar tidak berbuat dzalim.
“Tudingan radikal, ekstremis tidak boleh menyurutkan semangat dakwah tapi harus menjadi pemicu agar dakwah semakin baik,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun