Mediaumat.id – Membahas karakter seorang pemimpin sejati, Direktur Pamong Institute Drs. Wahyudi Al Maroki, M.Si. mengatakan, di dalam sistem demokrasi seperti saat ini diberlakukan, tak akan bisa memunculkan pemimpin seperti itu.
“Dalam sistem mekanisme demokrasi yang didesain dengan begitu mahal ini tidak muncul pemimpin seperti itu,” ujarnya dalam Sisi Lain sang Pamong bertajuk Pemimpin Sejati: Anti Oligarki dan Cinta Rakyat, Setia Melayani Meski Tak Lagi ASN!!! di kanal YouTube SilaSapa, Jumat (26/8/2022).
Menurutnya, seorang pemimpin sejati tumbuh dan berkembang, bahkan seiring waktu, tersaring bersama karya-karyanya serta bermanfaat di tengah-tengah masyarakat.
Namun, di dalam sistem demokrasi, sekali lagi ia menegaskan, yang muncul justru pemimpin bermodal besar atau yang dimodali oleh orang lain, kelompok lain, yang orang sekarang mengatakan kelompok oligarki yang memodali siapa pun calonnya.
Artinya, pemimpin dimaksud sebelumnya memang dikondisikan untuk dicitrakan atau didesain untuk dimunculkan.
Dampaknya, muncul pula istilah utang yang sifatnya politik dan balas budi. “Utang politik terkait dengan jabatan-jabatan politik dan deal-deal politik yang dilakukan, utang budi itu kan terkait dengan janji-janji yang dia ungkapkan,” terangnya.
Terkait utang politik, kata Wahyudi, cenderung terpenuhi. Pasalnya, janji tersebut terkait langsung kepentingan dengan para pendukungnya.
“Tetapi, utang budi kepada masyarakat nampaknya lupa biasanya,” ucap lelaki purna praja STPDN angkatan 04 (1995), alumni IIP Jakarta angkatan 29, dan alumni MIP IIP Jakarta angkatan 8 tersebut.
Terlebih banyak janji yang tidak terpenuhi. “Kenapa dia bisa begitu? Karena kalau kita ukur begini, dengan biaya politik yang begitu mahal tidak mungkin ada satu orang pun yang bisa mendanai dia sendiri,” katanya.
Sebutlah biaya ‘perahu’ politik berikut kampanye yang menurut lelaki kelahiran Merauke, Papua Selatan, 48 tahun lalu itu, bisa mencapai hingga triliunan rupiah.
“Siapa yang punya uang triliunan itu? Belum lagi untuk biaya kampanye dan segala macam. Beli ‘perahu’ saja tidak gratis,” tegasnya, sembari menyebutkan bahwa partai politik berikut kelompok oligarki tertentu yang bisa memberikan tiket kepada seseorang bakal calon untuk maju.
Harus Diperbaiki
Lantas untuk bisa keluar dari semua yang berkaitan dengan persoalan tersebut, setidaknya ada dua hal yang menurut Wahyudi harus segera diperbaiki.
Pertama, karakter individu calon-calon pemimpin. “Dia harus muncul dari pemimpin yang punya integritas yang kuat, jujur kemudian berkualitas, track record-nya_ bagus,” tuturnya.
Sebabnya ketika sudah melakukan kebohongan, terutama, maka selanjutnya bisa dipastikan sulit untuk bersikap jujur lagi.
Misal, dari tampilan biasanya tidak pakai kerudung, menjadi mendadak berkerudung ketika menjelang pemilu. “Itu sudah jelas tidak jujur,” timpalnya.
“Biasanya tidak pernah bagi-bagi, misalnya bagi-bagi sembako. Itu kan biasanya tidak melakukan. Nah ketika mau pilkada melakukan,” tambahnya.
“Kalaupun sekolah, sekolah yang benar. Kalau punya gelar, lulus beneran,” sambung ia yang mengaku memilih mengundurkan diri dari PNS pada 2010 silam, dengan sedikit menyinggung tokoh bergelar honoris causa yang terkesan diperoleh melalui jalan pintas.
Lantaran itu, lontar ia lagi, mending tidak mempunyai gelar tetapi kualitasnya tampak. “Itu kita lebih bangga, lebih elegan,” lugasnya, sembari menyebut nama Rocky Gerung yang tak bergelar profesor tetapi ketika berargumentasi, kualitasnya sekelas itu.
Kedua, yang harus diperbaiki adalah sistem politik yang menaungi. “Individu yang baik ini enggak akan muncul terhadap sistem yang memang sangat mahal dengan biaya yang sangat mahal,” jelasnya, berkenaan dengan demokrasi.
Sehingga ia mengimbau agar pesta demokrasi diakhiri saja. Maksudnya, harus ada perubahan yang sangat radikal dan sistemik.
Sebab kalau tidak, siapa pun yang naik bakal tersandera oleh kepentingan politik, lebih-lebih kepentingan oligarki. “Kebijakan yang muncul tidak lagi pro rakyat pasti,” tambah sosok yang kini aktif sebagai Pemred Majalah Pamong Readers.
Sebagaimana Undang-Undang Omnibuslaw yang betapa berbagai lapisan masyarakat, baik profesor, ulama, akademisi, termasuk buruh sekalipun sudah memberikan penolakan, hukum tertulis tersebut pada kenyataannya jalan terus.
Belum lagi potensi tertangkap tangan oleh KPK. “Efek domino, itu uang yang terserap kepada kroni dia (koruptor) maupun yang dia harus salurkan itu kan akhirnya tidak jatuh ke masyarakat,” jelasnya, terkait kecenderungan pejabat publik untuk melakukan tindak pidana korupsi dan semacamnya.
Dengan demikian, berdasarkan fakta-fakta tersebut, kata Wahyudi, harus ada koreksi yang lebih baik. “Bukan ingin mundur tetapi ingin menyelamatkan anak bangsa dan negeri ini,” pungkasnya.[] Zainul Krian