Mediaumat.info – Direktur Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Dr. Erwin Permana menilai, sikap pemerintah Indonesia sendirilah yang menyebabkan berbagai aksi umat bela Palestina terutama oleh para mahasiswa di negeri ini, tak seberapa menggema dibanding aksi serupa mahasiswa di kampus negara-negara Barat.
“Banyak faktor, di antaranya diduga adalah lingkungan yang diciptakan pemerintah sendiri menyebabkan mahasiswa itu menjadi melempem,” ujarnya kepada media-umat.info, Kamis (9/5/2024).
Tengoklah beban mahasiswa saat ini relatif berat berikut berbagai macam tugas akademik, biaya pendidikan mahal yang tak jarang juga ditopang mahasiswa sendiri. “Apalagi kalau kemudian harus mengulang mata kuliah tertentu misalnya, itu tentu akan berlipat biaya dan juga beban itu,” tandas mantan Koordinator Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus (BKLDK) Nasional tersebut.
Selain itu, jelas Erwin, mahasiswa S1 atau sederajat diberi kesempatan menuntaskan kuliah hingga tujuh tahun (14 semester). Saat ini, jika sampai tujuh tahun tidak lulus, maka akan terancam drop out (DO) atau dikeluarkan.
“Artinya, di tengah beban berat seperti masa studi yang pendek ditambah biaya mahal, menjadikan fokus mahasiswa yang seharusnya mampu mengembangkan jiwa kritis mereka, saat ini justru teralihkan dengan beban-beban akademik saja,” jelasnya.
Diberitakan sebelumnya, aksi protes mahasiswa yang menentang serangan Zionis Yahudi ke Gaza, Palestina, menyebar bukan hanya di berbagai kampus di Amerika Serikat. Kini demonstrasi dilakukan di kampus-kampus Eropa, seperti Belanda, Jerman, Prancis, Swiss, dan Austria.
Perlu diketahui, demo mahasiswa hingga kini masih terus terjadi di AS, meminta divestasi kampus dengan Zionis. Mereka menginginkan kemitraan kampus dengan lembaga-lembaga Zionis diakhiri dan menekan pemerintahnya untuk mendesak Zionis melakukan gencatan senjata.
Hal yang sama seperti demo di AS, dalam laporan AFP terbaru Rabu (8/5/2024), aksi protes mahasiswa di Eropa juga bentrok dan berujung dengan penangkapan. Ratusan pengunjuk rasa di Universitas Amsterdam misalnya, diserang dengan pentungan setelah menolak meninggalkan kampus, Selasa.
Tak ayal, membandingkan hal ini, Erwin pun khawatir terjadi fenomena kampus-kampus di Indonesia malah menjadi menara gading. “Jadi seperti menara gading,” tukasnya, tentang perumpamaan aktivitas di sebuah kampus yang makin terpisahkan jauh dari realitas sosial di sekitarnya.
Dengan kata lain, kampus akan menjadi semakin sulit diharapkan untuk dapat memberi kontribusi kreatif pada penyelesaian masalah-masalah sosial masyarakat. “Apa yang dilakukan oleh kegiatan kemahasiswaan itu seperti enggak nyambung dengan problem yang terjadi di tengah-tengah masyarakat,” sebutnya.
Untuk diketahui, kekhawatiran ini bukanlah ilusi karena saat ini sudah banyak kritik dari luar kampus bahwa program-program kampus banyak yang monoton dan kurang memberi inspirasi. Semangat sosial dan kedermawanan yang sebenarnya selalu tumbuh di kalangan mahasiswa tak tersalurkan dengan baik ke dalam program-program sosial inovatif.
Belum lagi, kata Erwin, narasi mengaitkan suatu kegiatan kemahasiswaan dengan isu terorisme maupun radikalisme juga kerap terjadi.
Oleh karenanya, sebagai kaum intelektual, mahasiswa seharusnya memiliki semangat keislaman tinggi, tidak kemudian justru menjauh dari kegiatan tetapi berupaya untuk memahami dan mengkaji Islam itu sendiri.
Namun sayangnya, kondisi saat ini tidaklah demikian. “Sudahlah mereka jauh hari aktivitas aktivisme, tapi kemudian mereka juga tidak memahami agama,” sebut Erwin, seraya memandang sebagian kalangan mahasiswa justru terjebak hedonisme.
Sebut saja judi online, pinjaman online, pergaulan bebas, hingga penyalahgunaan narkoba, menurut Erwin cenderung menjadi dunia mereka.
Namun di saat yang sama, ia mengapresiasi terhadap apa yang selama ini dilakukan oleh mahasiswa ‘Gema Pembebasan’, maupun ‘Muhammadiyah’ yang senantiasa ‘meneriakkan’ pembelaan ke Gaza, Palestina.
“Sampai sekarang saya kira masih sangat konsisten,” ucapnya, seraya berharap negara berperan menangkal itu semua dengan bekal pemahaman Islam yang benar.
Tegasnya, mereka harus ngaji dan negara berkewajiban memfasilitasi dengan keimanan dan ketakwaan, seperti halnya pernah di lakukan oleh Rasulullah SAW berlanjut para khalifah di era-era kekuasaan Islam berikutnya. “Itu tugas negara,” pungkasnya. [] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat