PAKTA: Kebijakan Tapera Tak Menyentuh Persoalan

Mediaumat.info – Pernyataan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko yang menyebutkan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) tidak akan digunakan untuk kepentingan yang lain semacam Ibu Kota Nusantara (IKN) dinilai Direktur Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Dr. Erwin Permana hanya lip service dan tidak menyentuh persoalan.

“Saya kira itu statement lip service sekaligus tidak menyentuh substansi persoalan. Justru statement tersebut lari dari persoalan utama,” tuturnya kepada media-umat.info, Rabu (5/6/2024).

Menurutnya, ketika pemerintah menarik uang dari masyarakat dengan alasan Tapera, justru itu menambah kezaliman. “Itu saja sebuah kezaliman. Karena itu ditarik dengan semena-mena. Enggak ada sosialisasi, diskusi dengan masyarakat, apakah masyarakat berkenan atau tidak,” ujarnya.

Kalau ada diskusi, kata Erwin, masyarakat pasti menolak, karena masyarakat menengah ke bawah sekarang semakin bertambah jumlahnya, sebaliknya kalangan atas semakin sedikit.

“Orang kaya itu, kekayaannya berkali-kali lipat tapi jumlahnya semakin sedikit. Jadi, jumlah orang yang ada di puncak piramida semakin sedikit tapi secara personal kekayaannya semakin berlipat ganda. Artinya jumlah orang yang berkecukupan itu jumlahnya semakin lama semakin berkurang,” kata Erwin.

Ketika situasi seperti itu, menurut Erwin, masyarakat tentu keberatan. “Mereka tanpa penarikan saja sudah berat. Beban hidup untuk menghadapi keseharian mereka saja itu sudah berat, apalagi nanti mau dipotong. Sudah dipotong pajak sana-sini, potong BPJS masih mau dipotong lagi. Itu suatu bentuk kezaliman terhadap masyarakat. Itu yang pertama,” tegasnya.

Kedua, krisis kepercayaan. Masyarakat sudah enggak percaya dengan bentuk-bentuk berbagai macam kebijakan yang mengumpulkan uang dari masyarakat. Karena banyaknya penyelewengan anggaran, misalnya kasus Asabri dan kasus asuransi Jiwasraya.

Menurutnya, sebelum membuat kebijakan Tapera, pemerintah harus menyelesaikan masalah kemiskinan dan memulihkan kepercayaan masyarakat.

“Ini masalah-masalah masyarakat yang miskin selesaikan dulu, yang kedua krisis kepercayaan. Berarti pemerintah harus berbenah dulu supaya muncul kepercayaan, bukan kemudian maksain ini. Akhirnya kan muncul argumentasi yang kekanak-kanakan begini,” ujarnya.

Erwin menuturkan, di dalam Islam, masyarakat itu merupakan orang yang diurus urusannya. Kalau beban hidupnya berat, maka diringankan dulu beban hidupnya. Kalau masyarakat enggak punya rumah, maka diberikan fasilitas rumah kepada masyarakat. Bukan kemudian masyarakat itu diambil uangnya tanpa kemudian ada pertanggungjawaban yang jelas.

“Coba ketika misalkan dikumpulkan Tapera, bagaimana realisasi eksekusi sehingga masyarakat punya rumah, gimana? Beli lahan, sekarang lahan mahal. Makin lama lahan makin mahal. Ada enggak diambil lahan dari para cukong? Penguasa lahan di Indonesia itu kemudian nanti dikatakan di sana akan dibangun Tapera? Akan dibangun perumahan rakyat? Enggak ada. Artinya membangun rumah itu omong kosong. Mau dibangun di lahan yang mana?” ungkapnya.

Menurutnya, kalau bangun rumah mestinya lahannya dulu disediakan. “Oke sekarang masyarakat tinggal bayarnya 3%, lahannya saya sediakan, mestinya ngomongnya gitu. Ini kan enggak ada. Tiba-tiba ujug-ujug narik 3% aja. Emang bisa seumur-umur hidup masyarakat nabung? Enggak akan kebeli itu dengan 3%. Inflasinya aja sudah 3% kok. Artinya sama dengan nol itu. Dalam setahun inflasi 3%, nabung 3 %, ya nol. Akhirnya bohong-bohong aja doang. Uang masyarakat sudah habis. Jadi enggak masuk di akal menurut perspektif Islam,” bebernya.

Erwin mengatakan, semestinya pemerintah yaitu berdiri tegak menyediakan rumah untuk masyarakat yaitu dengan serius tanpa menarik uang dari masyarakat. Atau menarik uang dengan biaya yang sangat murah tapi rumahnya betul-betul ada.

“Kenapa? Karena dalam Islam, pemerintah itu kan takut dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, beriman kepada Allah, bukan takut dengan yang lain-lain,” pungkasnya. [] Achmad Mu’it

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: