Mediaumat.info – Pakar Fikih Kontemporer KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menilai tidak tepat menerapkan hukum ihya`ul mawat untuk pemagaran laut. “Menerapkan hukum ihya`ul mawat untuk pemagaran laut, adalah tidak tepat,” tuturnya kepada media-umat.info, Kamis (13/2/2025).
Menurutnya, tanah terbengkalai (al-mawat) itu atau lengkapnya dalam fikih disebut al-ardhu al-mawat, ada ta’rif-nya (definisinya) yaitu sebagaimana yang disebut dalam kitab Al-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, karya Taqiyuddin An-Nabhani, halaman 78 yang artinya, “Tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada seorang pun yang memanfaatkannya.” (al mawaat hiya al ardhullaty laa maalika lahaa walaa yantafi’u bihaa ahadun).
Maka dari itu, ujarnya, ketika terjadi pemagaran laut yang dilakukan oleh oligarki, yang kemudian dilegitimasi secara syariah sebagai kegiatan ihya`ul mawat (menghidupkan tanah mati), sesungguhnya telah terjadi 3 (tiga) kekeliruan yang fatal.
Pertama, yang dipagari itu faktanya bukan tanah mati (al-ardhu al-mawaat), melainkan laut (al-bahr). “Jadi menerapkan hukum ihya`ul mawaat (menghidupkan tanah mati) untuk memagari laut, bukan untuk tanah, adalah suatu kekeliruan dan bentuk pemaksaan hukum fikih yang tidak pada tempatnya,” ungkapnya.
Kedua, selain itu, al-bahr (laut) itu tidak memenuhi definisi tanah mati (al-ardhu al-mawaat), karena tanah mati itu syaratnya adalah tidak ada pemiliknya (laa maalika lahaa).
“Padahal laut itu ada pemiliknya, bukan tidak ada pemiliknya. Pemilik laut tiada lain adalah masyarakat umum, karena laut kategorinya adalah milik umum (al-milkiyyah al-‘aammah), karena masuk kategori min maraafiq al-jamaah (merupakan benda yang pemanfaatannya menjadi hak jamaah/masyarakat secara umum), sesuai sabda Nabi SAW dalam hadits riwayat Abu Dawud nomor 3477 yang artinya, ‘Kaum Muslim berserikat dalam tiga benda; padang gembalaan, air, dan api,’” terangnya.
Ketiga, menerapkan hukum ihya`ul mawaat untuk laut juga tidak dibenarkan, karena al- mawaat itu syaratnya adalah wa laa yantafi’u biha ahadun, artinya, tidak dimanfaatkan oleh seorang pun.
“Padahal laut (al-bahr) yang dipagari itu, yang memanfaatkannya bukannya tidak ada, melainkan ada, dan bahkan banyak, misalnya para nelayan yang mencari ikan di pantai atau di laut lepas pantai,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat