Mediaumat.info – Pakar Fikih Kontemporer sekaligus Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq al-Jawi memandang, meski hukum asalnya makruh, membikin akun palsu seperti Fufufafa jatuh ke dalam kategori haram.
“Hukum asal makruh itu sesungguhnya telah berubah menjadi haram,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima media-umat.info, Jumat (15/9/2024).
Sebab, akun tersebut digunakan oleh pemiliknya untuk hal-hal yang diharamkan. Semisal menghina orang lain, mengucapkan kata-kata cabul/mesum, melecehkan wanita dengan menyebut organ-organ tubuhnya yang sensitif, rasis dengan menyebut orang Papua berkulit hitam, maupun mengatai orang lain (Jawa: misuh) dengan kata ‘AS*’.
Sebelumnya, akun Kaskus bernama Fufufafa viral setelah menjadi perbincangan hangat di platform X (dulu Twitter). Tak tanggung-tanggung, hal tersebut bahkan memunculkan tagar ‘#Fufufafa’ yang trending sampai berhari-hari.
Awalnya, sejumlah pemilik akun X mengunggah tangkapan layar yang memperlihatkan jejak digital akun Kaskus Fufufafa. Akun tersebut disorot karena unggahan-unggahannya secara tak beretika menyerang beberapa tokoh tanpa dilengkapi data-data yang kuat di ruang digital.
Bergantung Fakta
Hukum membuat akun tidak dengan nama sebenarnya, kata Kiai Shiddiq menerangkan, secara syar’i sebenarnya bisa makruh, mubah, bahkan haram, bergantung pada faktanya (manath).
Pertama, makruh apabila nama yang digunakan adalah nama samaran (pseudoname/nick name), yang bertujuan untuk menyembunyikan nama asli, dan nama itu bukan nama sehari-hari. Misalkan orang bernama asli ‘Yono’, sehari-hari dipanggil ‘Yono’, tapi di Facebook akunnya ‘Simbah Maridjon’.
“Dari Jabir bin Abdillah ra, dia berkata, ‘Aku pernah datang kepada Nabi SAW untuk menyelesaikan urusan utang ayahku kepada Nabi SAW. Lalu aku mengetuk pintu. Kemudian Nabi SAW bertanya, ‘Siapa ini?’ Aku menjawab, ‘Saya’. Nabi SAW berkata, ‘Saya, saya’, seakan-akan beliau membenci jawabanku itu,” kata Kiai Shiddiq, menyampaikan hadits riwayat Imam Bukhari No. 5896 sebagai dalil.
Untuk ditambahkan, Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin berdalil dengan hadits tersebut sebagai dasar makruhnya seseorang menjawab ‘saya,’ yakni tidak menyebut nama, ketika seseorang bertanya siapa nama sebenarnya.
Kedua, hukum membuat akun tidak dengan nama sebenarnya bisa menjadi mubah, yang berarti boleh, apabila nama yang digunakan adalah nama baru (new name), yakni bukan nama asli tetapi sudah menjadi nama baru dan digunakan sebagai nama sehari-hari.
Semisal, orang bernama asli “Sigit’, tetapi di Facebook namanya ‘Shiddiq’, dan nama ini sudah menjadi nama barunya dan digunakan sehari-hari.
Dalilnya adalah hadits-hadits yang menunjukkan kebolehan bahkan kesunahan (istihbab) mengganti nama menjadi nama lain yang maknanya lebih baik.
“Imam Nawawi telah menyebutkan hadits-hadits tersebut dalam kitabnya, Al-Adzkar, pada bab yang berjudul Istihbab Taghyir al-Ism ila Ahsan Minhu (Kesunahan Mengganti Nama dengan Nama yang Lebih Baik),” kata Kiai Shiddiq, mengutip kitab Al-Adzkar an-Nawawiyyah, hlm. 249-250.
Pula untuk diketahui, terdapat hadits riwayat Imam Muslim No. 2139 yang artinya, ‘Dari Ibnu Umar ra bahwa Nabi SAW telah mengganti nama perempuan bernama ‘Aashiyah (artinya perempuan yang bermaksiat), menjadi nama baru yaitu Jamiilah (artinya perempuan yang cantik)’.
“Maka jika seseorang di Facebook menggunakan nama lain yang bukan nama aslinya, tapi nama itu sudah menjadi nama baru baginya dan menjadi panggilannya sehari-hari, hukumnya boleh dan bahkan sunah jika nama baru itu maknanya lebih baik dari yang lama,” papar Kiai Shiddiq menekankan.
Ketiga, hukum membuat akun tidak dengan nama sebenarnya bisa jatuh ke dalam kategori haram apabila nama yang disematkan adalah nama atau identitas orang lain (false name), baik orang itu sudah meninggal ataupun masih hidup.
Contohnya, akun dengan nama Taqiyuddin an-Nabhani yang telah meninggal tahun 1977 M (semoga Allah merahmatinya). Atau membuat akun di Facebook dengan nama Ismail Yusanto yang sama sekali tidak pernah membuat akun di platform media sosial tersebut.
Keharaman ini dikarenakan termasuk kedustaan (al-kadzib) atau penipuan (al-ghisy) yang telah diharamkan oleh syara’. “Barang siapa menipu, maka dia bukan golonganku,” pungkasnya, menukil hadits riwayat Imam Bukhari No. 164. [] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat