Mediaumat.id – Pakar Ekonomi Syariah Dr. Arim Nasim, S.E., M.Si., Ak., CA mengatakan bahan bakar minyak (BBM) selalu menjadi masalah siapa pun yang berkuasa.
“Diskusi BBM tak ada hentinya, terus menjadi masalah dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya. Siapa pun yang berkuasa, BBM selalu menjadi masalah,” tuturnya dalam acara Dialogika Peradaban: BBM Langka dan Melejit Harganya, Kenapa? melalui kanal YouTube Peradaban Islam, Sabtu (13/8/2022).
Salah satu yang selalu menjadi perbincangan, lanjut Arim, adalah subsidi. Subsidi ini selalu menjadi sasaran tembak, dianggap membebani APBN sehingga ruang fiskal negara untuk pembangunan berkurang.
“Kita mendengar keluhan presiden, menteri, bahwa anggaran subsidi migas ini katanya sudah menyentuh Rp505 triliun. Ini angka yang cukup besar,” tukasnya.
Tiga Akar Masalah
Tapi Arim melihat, problem ini sistemik, bukan semata problem di Pertamina. Ia lalu menyebut setidaknya ada tiga akar masalah.
Pertama, pengelolaan minyak dan gas diserahkan kepada swasta. “Walaupun Pertamina masih mengelola, tapi dengan Undang-Undang Migas tahun 2001, masuk peran swasta dalam eksplorasi migas baik di sektor hulu maupun hilir,” paparnya.
Dari problem pertama ini, kata Arim, negara sudah defisit dari sisi migas, karena eksplorasi Indonesia hanya sekitar 800.000 barel sementara kebutuhan 1,5 juta. “Hampir setengahnya kita mengandalkan dari impor BBM,” tandasnya.
“Dari 800.000 barel itu tidak seluruhnya dikuasai Pertamina. Pertamina hanya menguasai 54 persen. Sisanya yang 700.000 barel, pemerintah harus membeli dengan harga internasional. Ini yang dikeluhkan pemerintah karena membebani subsidi,” terang Arim.
Jadi, simpul Arim, akar masalah yang pertama, liberalisasi regulasi minyak dan gas sehingga negara tidak menguasai sepenuhnya baik sektor hilir maupun sektor hulu.
Kedua, postur APBN. “APBN kita tidak lagi sehat, sehingga ketika ada beban dari APBN yang harus dialokasikan untuk subsidi, padahal untuk rakyat pemerintah teriak-teriak, tapi pemerintah tidak pernah teriak ketika APBN dibebani oleh utang yang bunganya saja tahun ini Rp405 triliun,” beber Arim.
Arim berkesimpulan yang membebani APBN itu bukan subsidi melainkan utang tapi subsidi selalu disalahkan.
Ketiga, tidak pernah dipikirkan secara serius mewujudkan energi alternatif.
Arim menilai, tiga akar masalah pokok ini menjadi benang kusut. “Ke depan kalau tidak ada perubahan signifikan dalam pengelolaan APBN dan juga dalam merancang energi alternatif maka problem terkait dengan migas ini akan terus menerus menjadi masalah negara dan yang dikambinghitamkan rakyat, padahal sebenarnya salah kelola yang dilakukan pemerintah terkait BBM dan APBN,” nilai Arim.
Tiga Solusi
Arim lalu memberikan tiga solusi untuk keluar dari problem ini.
Pertama, hentikan liberalisasi migas. “Migas merupakan barang publik yang dalam pandangan Islam harus dikelola oleh negara, tidak boleh diserahkan ke swasta,” ungkap Arim.
“Hentikan Undang-Undang Migas Tahun 2001 yang menyamakan Pertamina dengan swasta lokal maupun asing. Kembalikan posisi Pertamina sebagai BUMN yang menjadi perpanjangan negara untuk mengelola minyak dan gas dengan pengelolaan yang profesional,” imbuhnya.
Kedua, benahi struktur APBN. “Jangan terus menambah hutang, sementara alokasi penggunaannya untuk proyek yang tidak begitu bermanfaat untuk rakyat, tidak mendongkrak ekonomi rakyat,” jelasnya.
Ketiga, harus mulai berpikir menggunakan energi alternatif. “Dan membenahi transportasi publik sehingga masyarakat nyaman,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun