Pakar Sebut Boleh Mengkritik Penguasa di Depan Umum

 Pakar Sebut Boleh Mengkritik Penguasa di Depan Umum

Mediaumat.info – Berkenaan dengan aktivitas mengkritik penguasa di depan umum, Pakar Fikih Kontemporer sekaligus Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menegaskan kebolehannya. “Boleh hukumnya mengkritik pemimpin secara terbuka di muka umum,” ujarnya kepada media-umat.info, Ahad (5/1/2025).

Menurutnya, kebolehan ini juga berlaku di media massa yang digunakan sebagai alat komunikasi untuk menyebarkan berita dan pesan kepada masyarakat luas, seperti di media sosial, koran dan majalah. Bahkan saat berdemonstrasi, baik di pasar, kampus dan tempat terbuka lainnya pun sama.

Bukan tanpa dasar, Kiai Shiddiq menyandarkan kebolehan ini pada hadits shahih riwayat Imam al-Baihaqi, di dalam As-Sunan Al-Kubrā, Juz VII, hlm. 318, no. 18764, yang artinya:

Diriwayatkan dari Nafi’ Maula Ibnu Umar ra, ketika Khalifah Umar bin Khattab ra menaklukkan Syam, beliau tidak membagikan tanah Syam kepada para mujahidin. Maka Bilal ra memprotes Khalifah Umar bin Khattab ra dengan berkata: “Kamu harus membagi tanah itu atau kita harus ambil tanah itu dengan pedang!”

“Hadits ini menunjukkan Bilal telah mengkritik Khalifah Umar bin Khattab ra secara terbuka di hadapan umum,” ulas Kiai Shiddiq, mengutip keterangan dari Ziyād Ghazzāl, dalam kitab Masyrū’ Qānūn Wasā’il al-I’lām fī ad-Daulah al-Islāmiyah, hlm.24.

Tak hanya itu, terdapat pula HR Imam al-Bukhari No. 3017, yang artinya: iriwayatkan dari ‘Ikrimah ra, Khalifah Ali bin Abi Thalib ra telah menjatuhkan hukuman mati dengan cara dibakar hidup-hidup kepada kaum zindīq (kaum yang secara lahiriah menunjukkan keislaman, tetapi sebenarnya mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya).

Berita ini telah sampai kepada Ibnu ‘Abbas ra, maka berkatalah beliau mengkritik Khalifah Ali bin Abi Thalib ra, “Kalau aku, niscaya tidak akan membakar mereka karena Nabi SAW telah bersabda: ‘Janganlah kamu menyiksa dengan siksaan Allah (api).’ Dan, niscaya aku (Ibnu ‘Abbas) akan membunuh mereka karena sabda Nabi SAW: ‘Barang siapa mengganti agamanya (keluar dari agama Islam), maka bunuhlah dia.’”

Juga dalam hadits tersebut, Kiai Shiddiq menandaskan, sangat jelas Ibnu Abbas ra mengkritik Khalifah Ali bin Abi Thalib ra secara terbuka di muka umum (Ziyād Ghazzāl, Masyrū’ Qānūn Wasā’il al-I’lām fī ad-Daulah al-Islāmiyah, hlm. 25).

Hadits Dha’if

Sekadar diketahui, terlontar sebelumnya pertanyaan seputar hadits larangan menasihati penguasa di depan umum, tetapi harus dilakukan secara diam-diam. Hadits dimaksud diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Al-Musnad, 3/403-404; dan Imam al-Haitsami di dalam kitab Majma’ al-Zawā`id, 5/232, yang artinya:

Dari ‘Iyādh bin Ghanam ra, bahwa Nabi SAW berkata: “Barang siapa hendak menasihati penguasa akan suatu perkara, janganlah dia menampakkan perkara itu secara terang-terangan, tapi peganglah tangan penguasa itu dan pergilah bersepi-sepi dengannya. Jika dia menerima nasihatnya, itu baik, kalau tidak, orang itu telah menunaikan kewajibannya kepada penguasa itu.”

Tetapi, hadits itu statusnya dha’īf (lemah) sehingga tidak boleh dijadikan hujjah (dalil syar’i landasan hukum). Terkait hal ini, ia pun menyebutkan setidaknya karena dua alasan. Pertama, sanadnya terputus (inqithā’).

“Ada seorang periwayat hadits dari generasi tābi’īn, yang bernama Syuraih bin ‘Ubaid al-Hadhrami, yang tidak pernah mendengar riwayat hadits tersebut dari periwayat generasi shahabat, yaitu ‘Iyādh bin Ghanam dan Hisyām bin Hakīm,” jelas Kiai Shiddiq, menukil keterangan dari Imam al-Haitsami di dalam kitab Majma’ al-Zawā`id, 5/229.

Alasan kedua, dalam hadits tersebut ada periwayat hadits yang lemah, yaitu Muhammad bin Ismā’il bin ‘Ayāsy al-Himshi (M. Abdullah Al-Mas’ari, Muhāsabah al-Hukkām, hlm. 41-43).

Walaupun demikian, nasihat yang dilakukan secara diam-diam kepada penguasa, kata Kiai Shiddiq lebih lanjut, lebih baik meski hukumnya tidak wajib menurut syara’ atau hukum Islam.

Dengan kata lain, andai hadits larangan tersebut sahih, hukum syara’ yang terkandung di dalam hadits tersebut hanya bersifat anjuran (keafdhalan) untuk menasihati penguasa diam-diam.

Pun hukumnya tak sampai mengharamkan aktivitas nasihat yang disampaikan kepada penguasa secara terbuka di muka umum, sebagaimana telah dibuktikan oleh para sahabat Nabi SAW yang justru sering mengkritik para khalifah secara terbuka di muka umum.

“Hukumnya tak sampai mengharamkan nasihat yang disampaikan kepada penguasa secara terbuka di muka umum,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

 

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *