Pakar Kehutanan UPR Ungkap Keterkaitan Banjir Sintang dengan Sistem Perpolitikan

Mediaumat.id – Tanggapi peristiwa banjir di Sintang Kalimantan Barat (Kalbar) yang tak kunjung surut hingga sebulan, terhitung sejak Kamis (21/10) pagi, Pakar Kehutanan dari Universitas Palangkaraya (UPR) Agung Wibowo, S.Hut., M.Si., Ph.D. mengaitkannya dengan sistem politik saat ini yang berkontribusi terhadap bencana banjir tersebut.

“Sistem politik kita berkontribusi secara tidak langsung terhadap bencana banjir ini. Inilah underlying cause atau penyebab mendasarnya,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Rabu (17/11/2021).

Seperti diketahui, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat mencatat, sebanyak 35.807 KK atau 124.497 warga terdampak. Dari jumlah warga yang terdampak itu, sebanyak 25.884 orang terpaksa harus mengungsi. cnnindonesia.com, (16/11)

Sebelumnya, Agung menerangkan, dunia saat ini sedang menghadapi perubahan iklim, dengan intensitas hujan tinggi yang tidak terjadi hanya pada musim hujan.

Bahkan, lanjutnya, di musim kemarau pun malah sering hujan dalam durasi panjang dan skala yang luas. “Perubahan perilaku alam ini dapat mengakibatkan dampak yang sangat merugikan ketika manusia mengganggu keseimbangan lingkungan hingga melewati daya dukungnya,” jelasnya.

Terkait Sintang, Agung menerangkan, dampak hujan tidak akan terlalu besar jika tidak ada kerusakan hutan di daerah hulu sungai-sungai di Kalimantan yang selain berupa perbukitan, saat ini juga mengalami deforestasi yang masif.

Sementara, bagian hilir sungai yang berupa rawa, ditimbun untuk pembangunan fisik. Baik untuk jalan, pemukiman, ataupun kegiatan budidaya. “(Sehingga) air hujan yang tidak diserap tanah itu lalu terakumulasi dan terkurung menjadi banjir,” runtutnya.

Lebih dari itu, tambahnya, peristiwa banjir di Sintang persis berdasarkan pemahaman siklus hidrologi. Sehingga, dari rendahnya inflitrasi air hujan ke dalam tanah dan terhalangnya limpasan air permukaan menuju laut, maka terjadilah banjir dimaksud.

“Seandainya kawasan hutan di daerah hulu terjaga, dan konsep pembangunan ramah terhadap aliran air, banjir sebesar ini tidak akan terjadi,” harap Agung.

Di sisi lain, terkadang muncul pertanyaan apakah pihak-pihak yang mengizinkan pembukaan hutan tidak memahami dampak dari izin yang mereka keluarkan. “Saya pikir mereka sangat memahaminya,” timpalnya.

Unsur Politis

Menurut Agung, permasalahannya tidak sekadar paham atau tidak. Tetapi berkaitan langsung dengan kepedulian dan unsur politis. “Riset Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan bahwa pemberian ijin di sektor kehutanan merupakan imbalan yang paling banyak diminta pengusaha saat mendanai kampanye calon kepada daerah,” ungkapnya.

Apalagi, Pilkada langsung yang dihasilkan dari proses reformasi telah mengubah keseimbangan politik di negeri ini. “Bagi para petualang politik ini merupakan angin segar yang telah lama mereka nantikan. Ada aliran rente yang bisa diburu dalam setiap kontestasi Pilkada,” tuturnya.

Namun, ia menyayangkan, biaya Pilkada yang mahal harus ditebus dengan kerusakan sumberdaya hutan. Sehingga, secara dampak, telah merugikan masyarakat di sekitar hutan, serta warga yang terdampak bencana karena kerusakan hutan.

Untuk itu, agar bisa keluar dari permasalahan tersebut, perlu penerapan sistem politik yang adil dan akomodatif kepada semua kepentingan. Bukan hanya kepada para cukong. “Diskusi mencari sistem alternatif pengganti kapitalisme liberal ini perlu dilakukan sebelum dia mengakibatkan kerusakan lebih besar,” pungkasnya. []Zainul Krian

Share artikel ini: