Pakar Hukum Pidana: Terorisme Negara Paling Bahaya

Mediaumat.id – Dari ketiga jenis terorisme yakni revolusioner, subrevolusioner dan terorisme yang disponsori negara, Pakar Hukum Pidana Dr. Taufiq, S.H., M.H. menilai terorisme jenis ketiga ini yang paling berbahaya.
“Terorisme jenis ketiga adalah terorisme yang disponsori oleh negara. Terorisme jenis ketiga ini paling berbahaya. Sering digunakan oleh pemerintah atau faksi pemerintahan terhadap warga negaranya sendiri,” tuturnya dalam acara FGD#29 Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa: Radikalisme dan Terorisme dalam Konstruksi Kebijakan dan Kajian, Sabtu (19/3/2022) melalui kanal YouTube Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa.
Menurut Taufiq, terorisme negara ini memunculkan pembunuhan karakter. “Daftar 180 penceramah radikal itu menjadi bukti. Saya mengidentifikasi di antara daftar-daftar itu ada nama ayah dan anak. Yang satu Ustaz Abu Bakar Ba’asyir, yang kedua Ustaz Abdurrahim. Ini kan naif, yang satu itu kan sudah selesai menjalani pemidanaan. Kemudian Ustaz Abdurahim itu sama sekali bukan teroris tapi di situ disebut napi,” paparnya.
Menurutnya, itu termasuk kualifikasi tulisan yang menyudutkan Islam. “Saya masukkan kualifikasi ini adalah tulisan-tulisan yang menyudutkan Islam. Kemudian peran partai politik itu juga bagian dari terorisme demokrasi. Karena dia membatasi aktivitas politiknya. Dia mengkorup hak-hak rakyat, juga mengkorupsi uang rakyat. Kalau kita lihat di tahanan KPK kemarin kan mayoritas itu adalah ketua partai. Ini sebenarnya dari terorisme politik,” ujarnya.
Dibangun Amerika
“Jadi permasalahan yang terjadi saat ini adalah adanya pandangan negatif yang dibangun oleh Amerika Serikat terhadap Islam sebagai agama radikal dan memperbolehkan penganut agama untuk melaksanakan aksi teror. Rangkaian aksi peledakan bom di beberapa wilayah Indonesia sejak terjadinya ledakan Bali secara perlahan membentuk suatu paradigma. Indonesia termasuk salah satu negara yang menganut Islam radikal atau Islam garis keras. Stigma yang kita terima hari ini karena PBB secara pihak telah menetapkan, misalnya Jamaah Islamiyah sebagai organisasi terorisme internasional dan merupakan bagian dari jaringan Al-Qaeda,” tambahnya.
“Nah kalau pandangan-pandangan internasional yang seperti ini dan kemudian dibuat dalam sejumlah buku makin membentuk pandangan bahwa Islam memang radikal. Kita mengenal dengan istilah framing,” imbuhnya.
Radikalisme Negara
Taufik mencontohkan munculnya paham radikalisme, salah satunya yang secara hukum positif dilarang tapi negara memfasilitasi.
“Kita lihat misalkan perkawinan campuran itu tidak dibolehkan. Dalam undang-undang perkawinan yang lama maupun yang baru tahun 2006 tidak diperbolehkan. Bahkan fatwa Majelis Ulama Indonesia Mei 2004 melarang perkawinan campuran. Tapi ini kan malah di-blowup bahkan disebut di situ misalkan sebagai staf khusus presiden. Ini juga teroris, menekan, men-framing, sedemikian rupa supaya orang yang tidak setuju nanti dimasukkan kategori intoleran,” bebernya.
Bukan Pidana
Menurutnya, tidak ada kesamaan tentang deskripsi teroris karena yurisdiksinya secara hukum itu berbeda-beda. “Radikal Itu bukan sebuah perbuatan pidana, karena radikal itu pemikiran,” tegasnya.
Bahkan radikalisme pun, kata Taufiq, tidak bisa dianggap sebagai sebuah perbuatan pidana kalau dia memang tidak melakukan dengan cara-cara pidana. “Misalkan kita ingin mengganti pemerintahan tetapi dengan cara-cara ekstra parlementer itu radikal. Tetapi kan tidak termasuk dari kelompok yang disebut sebagai teroris,” katanya.
“Kita tidak perlu gentar dengan sebutan teroris. Karena Amerika sendiri biangnya teroris sudah mereduksi dengan mengesahkan undang-undang memerangi mereka yang masuk kategori islamofobia,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun