Mediaumat.news – Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. menduga ada cacat hukum dalam pembentukan UU Omnibus Law Cipta Kerja.
“Menyoal cacat hukum, sesungguhnya dapat dibagi menjadi dua, yakni cacat materiil dan cacat formil yang kemudian terhadap dugaan cacat hukum ini dapat diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi,” bebernya kepada Mediaumat.news, Selasa (13/10/2020).
Dugaan Cacat Formil
Menurutnya, muncul dugaan cacat formil karena ada pengakuan anggota Tim Perumus (Timmus) RUU Cipta Kerja bernama Ledia Amalia Hanifa belum memegang draf RUU Cipta Kerja yang telah bersih. “Jika benar, maka UU Cipta Kerja ini telah diproses dengan melanggar Tata Tertib (Tatib) DPR sesuai Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib,” ungkapnya.
Ia menilai Paripurna memang pengambil keputusan tertinggi di DPR. Namun, dengan pelanggaran yang sangat fatal terhadap Tatib DPR di atas, Rapat Paripurna DPR pada 5 Oktober 2020 itu mengesahkan naskah RUU Cipta Kerja yang berisi kertas kosong.
Dugaan Cacat Materiil
Menurut Prof. Suteki, pada praktiknya, demokrasi pasti berkelindan dengan kapitalisme di negara yang menerapkan sistem hidup sekularisme. Sama-sama terlahir dari rahim sekularisme, demokrasi dikenal sebagai sistem politik/pemerintahan, adapun kapitalisme berperan sebagai sistem pengatur ekonomi.
Ia menduga RUU Omnibus Law dirancang berbasis paradigma kapitalisme. Kapitalisme menempatkan pertumbuhan ekonomi di atas segalanya. Kepentingan para kapitalis (pemilik modal) mendapatkan pelayanan terdepan. Wajar jika isi RUU tersebut jauh dari rasa keadilan dan kesejahteraan sosial terhadap rakyat.
“Saya mengindera bahwa RUU Omnibus Law ini seolah menjadi mimpi buruk bagi dunia ketenagakerjaan (baca: perburuhan). RUU ini justru menciptakan ‘penindasan baru’ bagi buruh,” ungkapnya.
Ia menyebutkan, beberapa hak-hak dasar buruh seperti terkait upah, uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, status karyawan tetap (PKWTT), model karyawan kontrak (PKWTT), kesejahteraan buruh, yang sebelumnya diatur dengan cukup baik dan memperhatikan kepentingan buruh melalui UU No 13/2003, justru dikaji ulang sehingga dihilangkan atau banyak yang dihapuskan.
“Jadi, saya memandang bahwa rencana pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja patut diduga merupakan bentuk ketidakadilan penguasa terhadap hak hidup dan konstitusional rakyat,” pungkasnya.[] Agung Sumartono