Pakar Hukum: Membaca TAP MPRS tentang PKI Harus Komprehensif

Mediaumat.id – Terkait pernyataan Panglima TNI yang membolehkan keturunan PKI mendaftar anggota TNI karena tidak ada kata underbow dan segala macam di TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966, Pakar Hukum dan Masyarakat, Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. mengungkapkan, membacanya harus komprehensif.
“Membaca TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 harus komprehensif. Dari pembacaan politik hukumnya, historis, dan tersistematisasi dengan produk hukum lainnya,” ulasnya dalam segmen Dua Sisi: Ketika Keturunan PKI Boleh Jadi Anggota TNI, di tvOne, Kamis (7/4/2022).
Produk hukum yang dimaksud Prof. Suteki ialah UU No. 27 Tahun 1999 yang secara lebih luas mengatur tentang bahaya terhadap keamanan negara terkait ideologi komunisme.
“Larangan menganut, menyebarkan, dan mengembangkan ideologi yang jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila dan agama, inilah yang menjadi pokok persoalannya,” ujarnya.
Ia membeberkan, larangan ini berkonsekuensi terhadap dua hal. Pertama, adanya pembubaran hingga pelarangan organisasi yang menganut plus yang berafiliasi atau seasas dengannya atau underbow.
Kedua, berekses pada pembatasan situasional terhadap eks dan anak keturunannya untuk dipilih, memilih dalam pemilu, masuk di lembaga pemerintahan dan militer serta Polri (screening, bersih diri dan lingkungan).
“Karena PKI telah terbukti melakukan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah dan melakukan kekejaman dengan menyiksa, membunuh umat Islam, para jenderal, perwira TNI dan lain-lain. Ini fakta historis yang tidak terelakkan,” jelasnya.
Tentang persoalan hak asasi manusia (HAM) terkait pembatasan hak persamaan dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 UUD NRI 1945), menurutnya, harus dipahami bahwa untuk Indonesia tidak menganut HAM universal melainkan HAM partikular.
“Artinya HAM kita tidak absolut dan berarti dapat dibatasi oleh hukum, moral, agama, keamanan, keselamatan bangsa. Ini disebutkan dengan jelas di UUD NRI 1945 maupun di UU HAM 1999,” terangnya.
Jadi pembatasan situasional itu, menurut Prof. Suteki, tidak bertentangan dengan UU dan konstitusi, karena tidak permanen dan dapat dicabut ketika situasi keamanan, keselamatan bangsa dari ideologi komunisme dinilai sudah tidak terancam lagi.
“Warga negara sudah dewasa dalam berpolitik. Boleh dikatakan hal ini sebagai kebijakan publik yang bersifat autopoietis (merawat diri sendiri) dengan karakter open close system (sistem buka tutup),” cetusnya.
Ia menambahkan, Jerman sebagai negara demokrasi juga menerapkan pembatasan hak dalam rangka denazifikasi. Malaysia juga menerapkan diskriminasi antara Melayu dengan Cina dan India. Amerika, negara Barat lainnya juga pernah menerapkan politik aparheid, islamofobia, dan itu legal.
“Namun, kebijakan itu ternyata juga situasional, tidak permanen jika kita lihat ada resolusi PBB 15 Maret 2022 tentang Hari Anti-Islamofobia,” imbuhnya.
Ia menyoroti di Indonesia jalan di tempat karena pemerintah makin radikal terhadap kelompok Islam yang diduga terkait isu perjuangan umat Islam yang selalu dihubungkan dengan terorisme, ekstremisme, dan radikalisme.
“Islamofobia makin menjadi, padahal penduduk negeri ini 87,19 persen adalah Muslim,” pungkasnya.[] Puspita Satyawati