Mediaumat.id – Pengamat Hubungan Politik Internasional Hasbi Aswar, Ph.D. menyatakan adanya konflik Rempang membuat Indonesia tersubordinasi dengan Cina.
“Dari segi politik, membuat kita jadi ketergantungan dengan investasi-investasi yang dilakukan Cina. Saya kira membuat kita menjadi tersubordinasi oleh Cina,” tuturnya dalam Forum Group Diskusi (FGD): We Stand for Rempang: Bela Hak Rakyat, Tolak Neo Imperialisme dan Oligarki Berkedok Investasi, Sabtu (16/9/23) di kanal YouTube Rayah TV.
Hasbi pun menyebut indikasi lainnya bahwa Indonesia tersubordinasi Cina. Menurutnya, hampir tiap tahun, Indonesia kecolongan dengan masuknya kapal-kapal perang Cina di Natuna, kapal-kapal nelayan yang mencuri ikan. “Bahkan ada nelayan kita yang diusir dan diintimidasi oleh patroli Cina. Kita enggak bisa melakukan apa-apa. Cuma melakukan kontak-kontak dan protes sangat lembut,” ungkapnya.
Jadi, lanjut Hasbi, Indonesia jangan memisahkan antara hubungan yang sifatnya ekonomi dengan politik. Karena itu adalah sarana politik sebuah negara untuk menguasai negara,” tegasnya.
Hasbi memaparkan, ekonomi dari sejak berabad-abad yang lalu selalu menjadi alat politik. “Hari ini kita kenal dengan istilah no free lunch (tidak ada makan siang gratis),” imbuhnya.
Ia menambahkan, setelah Covid-19, ekonomi Cina luar biasa terpuruk. Bahkan ada yang mengatakan 20 tahun terakhir, ekonomi Cina masih buruk. Dan sekarang masih berupaya merangkak naik.
“Jadi Cina butuh untuk meningkatkan aktivitas-aktivitas perekonomian. Sehingga banyak dana segar yang masuk dan menambah pertumbuhan ekonominya,” bebernya.
Menurutnya investasi di Rempang adalah bagian dari strategi tersebut. “Nah, apa manfaatnya buat masyarakat Indonesia?” tanyanya.
Ia pun menerangkan, adanya alasan pemerintah yang sering mengatakan bahwa ini akan menambah tenaga kerja. “Cuma yang banyak mendapat manfaat itu adalah tenaga kerja asing dari Cina. Walaupun mereka juga banyak dieksploitasi. Bahkan mereka diprovokasi untuk bentrok dengan pekerja-pekerja Indonesia, seperti yang terjadi di Morowali awal tahun ini,” bebernya.
“Masyarakat atau pekerja-pekerja lokal demonstrasi untuk menuntut peningkatan keselamatan kerja, tapi para pekerja Cina itu diprovokasi oleh bosnya, karena mereka tidak bisa bahasa Indonesia,” lanjutnya.
Hasbi mengungkap, mereka diprovokasi bahwa orang Indonesia ingin menuntut gaji saja, tidak ada rasa terima kasih. “Akhirnya di lapangan terjadi bentrok antara pekerja Cina dengan lokal,” sesalnya.
Ia meyakinkan adanya potensi-potensi ini akan terus terjadi di mana pun, ketika Cina membawa pekerja-pekerja dari negaranya ke Indonesia. “Bukan hanya dampak lingkungan, bukan hanya dampak penggusuran. Tapi juga konflik sosial akan semakin besar,” tandasnya.
Ia membeberkan data pemerintah yang tercatat, ada lebih 20.000 pekerja asing Cina yang ada di Indonesia. “Pekerja yang datang, ya sebagian besar pekerja buruh kasar. Dan itu sudah terjadi beberapa waktu terakhir, khususnya di Sulawesi, Morowali, Sulawesi Tenggara,” ungkapnya.
“Jadi secara ekonomis, minim manfaat ekonomi, kecuali kepada elite pengusaha yang juga sebagai penguasa, yang menjadi penadah proyek-proyek ini,” pungkasnya.[] Nita Savitri