Pakar Fikih: Tak Ada Zakat Atas Harta Haram, Tetapi …

Mediaumat.id – Menjawab apakah zakat bisa membersihkan harta yang perolehannya dengan cara haram, Pakar Fikih Kontemporer sekaligus Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menyampaikan bahwa secara mendasar harta tersebut tidak ada zakatnya.

“Harta haram itu tidak ada zakatnya,” ujarnya dalam Life Hacks-Solusi Hidup: Hukum Menzakati Harta Haram, Jumat (24/2/2023) di kanal YouTube Sholdah TV.

Namun demikian, lanjut Kiai Shiddiq menerangkan, yang wajib dilakukan oleh pemegang harta haram adalah membersihkan dirinya dari harta haram itu (al-takhallush min al-mal al-haram).

Di antaranya, jika mengetahui pemiliknya maka segera mengembalikan harta haram. Semisal, harta curian atau rampasan kepada pemiliknya. Namun, apabila tidak mengetahui pemiliknya, maka menginfakkan di berbagai jalan kebaikan adalah upaya yang baik. “Misal untuk pembangunan jalan, atau membantu orang miskin,” tandas Kiai Shiddiq.

Menurutnya, harta haram pada hakikatnya bukanlah hak milik bagi orang yang memegangnya. Sementara, salah satu syarat dikeluarkan zakat adalah adanya hak milik (milkiyyah) pada harta yang akan dizakati.

Selain itu, tambahnya, harta haram bukanlah harta yang baik. “Allah itu Mahabaik dan tidak mau menerima kecuali dari yang baik,” tegasnya, mengutip hadits arbain ke-10.

Di sisi lain, Allah SWT berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih’ (QS Al-Mukminun: 51).

Pun di surat yang lain, yakni Al-Baqarah ayat 172, Allah SWT juga memerintahkan hal serupa yaitu, ‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah kalian dari rezeki yang baik-baik yang telah Kami berikan kepada kalian’.

Tidak Sah

Lantas kalaupun dikeluarkan zakatnya, sambung Kiai Shiddiq, hukumnya tidak sah menurut syara’. Pasalnya, zakat itu menyucikan orang yang berzakat serta harta yang dizakati. Hal itu sebagaimana Firman Allah SWT di dalam QS At-Taubah ayat 103, yang artinya: ‘Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka’.

Pun demikian sabda Nabi SAW, yang artinya, ‘Allah tidak mau menerima shadaqah dari harta khianat (ghulul)’ (HR Abu Dawud).

Seperti halnya keterangan di dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz 23, hlm. 248, Kiai Shiddiq juga menekankan bahwa harta haram seluruhnya adalah kotor dan tak dapat menyucikan.

Lebih jauh senada dengan itu, Nabi SAW juga bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, No. 1015, yang maknanya,

‘Kemudian Rasululah SAW menyebutkan ada seseorang yang melakukan perjalanan jauh dalam keadaan rambutnya kusut dan berdebu, dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa,”Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku,” padahal makanannya haram, minumannya haram, dan pakaiannya haram dan kenyang dengan sesuatu yang haram, lalu bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?’

Tak Ada Perbedaan Pendapat

Untuk diketahui, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama berkenaan dengan tak adanya zakat atas harta haram. terutama mazhab yang empat. Pertama, dari kalangan Mazhab Hanafi yang justru mewajibkan mengembalikan harta haram kepada empunya.

“Kalau harta yang haram itu telah mencapai nishab, tidak ada kewajiban zakat bagi orang yang menguasai harta itu, karena dia wajib mengeluarkan (mengembalikan) harta haram itu seluruhnya. Jadi tidak ada kewajiban untuk menzakatkan sebagiannya,” ujar Kiai Shiddiq, mengutip keterangan di kitab Hasyiyah Ibnu ‘Abidīn, Juz II, hlm. 25.

Kedua, Mazhab Maliki dalam hal ini disampaikan oleh Syekh al-Dardir. Di dalam kitab Al-Syarh al-Shaghir, Juz I, hlm. 206. Beliau menyampaikan, ‘Wajib hukumnya zakat bagi pemilik harta yang mencapai nishab, dan sebaliknya tidak wajib zakat atas orang yang bukan pemilik harta, seperti orang yang merampas harta orang lain, atau orang yang dititipi harta orang lain’.

Ketiga, ulama dari kalangan Mazhab Syafi’i. Di dalam kitab Al-Majmu’, Juz IX, hlm. 353, kata Kiai Shiddiq, dinukil oleh Imam Nawawi dari Imam Al-Ghazali dan disetujui pula oleh Imam Nawawi, berkata, ‘Jika tidak ada harta di tangan seseorang kecuali hanya harta yang haram semata-mata, maka dia tidak wajib naik haji, juga tidak wajib berzakat, juga tidak ada kewajiban kafarat untuk hartanya itu’.

Keempat, pendapat Mazhab Hambali. “Ulama Hanabilah berkata, ‘Tasharruf (perilaku yang melahirkan hak dan kewajiban dengan landasan syara’) terhadap harta haram yang dilakukan oleh perampas harta, hukumnya haram dan tidak sah, seperti halnya berwudhu dengan air rampasan, shalat dengan baju rampasan atau di atas tanah rampasan, seperti menzakati harta rampasan, atau berhaji dengan harta rampasan itu, atau melakukan akad-akad dengan harta rampasan itu seperti jual beli atau sewa menyewa’,” pungkas Kiai Shiddiq, mengutip dari kitab Kasysyaf al-Qina‘, Juz IV, hlm. 115.[] Zainul Krian

Share artikel ini:
Related Post