Mediaumat.id – Fikih Peradaban yang bakal dibangun berdasarkan Piagam PBB oleh sebuah ormas tertentu, dinilai justru bertentangan dengan prinsip menjaga agama (hifdzud din), salah satu dari maqashid asy-syariah atau sebuah gagasan dalam hukum Islam bahwa syariah diturunkan Allah SWT untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
“Fikih Peradaban bertentangan dengan prinsip menjaga agama (hifdzud din),” ujar Pakar Fikih Kontemporer sekaligus Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq al-Jawi kepada Mediaumat.id, Sabtu (25/2/2023).
Pasalnya, terdapat bukti sejarah bahwa ketika Khilafah Utsmaniyyah bergabung dengan Aliansi Kristen Eropa (yang menjadi cikal bakal PBB) pada abad ke-19 M, ternyata Khilafah Utsmaniyyah disyaratkan harus mengadopsi prinsip-prinsip Kristiani.
Terlebih, kata Kiai Shiddiq, kekhilafahan ketika itu harus meninggalkan ajaran Islam khususnya hukum-hukum mengenai hubungan internasional, seperti hukum-hukum jihad seperti halnya di dalam fikih Islam.
Dengan kata lain, sikap mendukung ini menyebabkan sebagian hukum Islam khususnya hukum hubungan internasional bakal dikorbankan, sehingga tidak bisa diamalkan lagi.
Alhasil, Kiai Shiddiq pun mengatakan, kendati telah diklarifikasi bahwa yang dimaksud bukan menjadikan Piagam PBB sebagai sumber hukum Islam, melainkan sekadar menegaskan bahwa perjanjian antara negara anggota PBB dengan PBB itu merupakan perjanjian yang bersifat mengikat, tetapi tetap saja bakal menempatkannya sebagai dasar paling kokoh untuk mengembangkan fikih baru bagi peradaban manusia, termasuk kaum Muslim di dalamnya.
Padahal seperti penjelasan yang ia paparkan, mendukung PBB maupun Piagam PBB berarti meneruskan persyaratan yang ditetapkan oleh aliansi negara-negara Kristiani pada tahun 1856. “(Yaitu) meninggalkan hukum Islam khususnya hukum-hukum hubungan internasional sehingga tidak dapat diamalkan lagi,” pungkasnya.[] Zainul Krian