Pakar Fikih Kontemporer: Haram Hukumnya Ormas Mengelola Tambang

 Pakar Fikih Kontemporer: Haram Hukumnya Ormas Mengelola Tambang

Mediaumat.info – Menanggapi kebijakan pemerintahan Jokowi yang memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan, Pakar Fikih Kontemporer KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menegaskan haram hukumnya ormas ikut mengelola tambang.

“Haram hukumnya ormas ikut mengelola tambang. Uang yang dihasilkan adalah harta haram, bukan harta halal yang berkah dan diridhai Allah SWT,” tuturnya kepada media-umat.info, Jumat (2/8/2024).

Dengan demikian, lanjutnya, berlaku hukum-hukum Islam untuk harta haram tersebut, sebagai hasil pengelolaan tambang yang tidak sah oleh ormas. Misalnya harta itu tidak boleh dimiliki, tidak boleh dimanfaatkan, tidak sah untuk dizakati, tidak sah disedekahkan, tidak sah diwakafkan, dan seterusnya, sesuai dengan hukum-hukum Islam yang berlaku untuk harta haram (lihat ‘Abbās Ahmad Muhammad Al-Bāz, Ahkām al-Māl al-Harām, hlm. 283-337).

Rasulullah SAW bersabda, yang artinya, “Barang siapa mengumpulkan harta yang haram, kemudian dia menyedekahkan harta haram itu, maka tidak ada pahala baginya, dan bahkan dia mendapatkan dosanya” (HR Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi).

Lebih lanjut, ia menjelaskan semua yang termasuk kepemilikan umum, haram dimiliki atau dikuasai oleh individu, baik swasta nasional apalagi swasta asing. Tidak boleh pula penguasaannya diserahkan kepada ormas.

Rasulullah SAW melarang individu untuk mengelola tambang dengan deposit yang besar, sebagaimana eksplisit tergambar dalam hadits Abyadh bin Hammal ra, yang artinya:

Dari Abyadh bin Hammal ra, bahwa dia pernah mendatangi Rasulullah SAW dan meminta beliau agar memberikan tambang garam kepada dirinya. Rasulullah SAW lalu memberikan tambang itu kepada Abyadh bin Hammal.

Ketika Abyadh bin Hammal ra telah pergi, ada seseorang di majelis itu yang berkata, “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberi dia sesuatu yang seperti air mengalir (al-mā’ al-‘idd).”

Ibnu Al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah SAW menarik kembali pemberian tambang garam itu dari dirinya (Abyadh bin Hammal ra)” (HR Abu Dawud dan Al-Timidzi).

Founder Institut Muamalah Indonesia itu menjelaskan barang yang termasuk dalam kepemilikan umum adalah milik bersama dan tidak boleh dimiliki/dikuasai oleh seseorang (swasta), sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya:

“Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara yaitu: padang rumput, air dan api (energi)” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Diqiyaskan dengan tiga barang tersebut, jelasnya, adalah semua barang yang menjadi hajat hidup orang banyak (min marāfiq al-jamā’ah) berdasarkan alasan hukum (‘illat) sebagai berikut:

“Setiap apa saja yang keberadaannya dibutuhkan oleh masyarakat umum maka statusnya adalah milik umum (al-milkiyyah al-’āmmah)” (Taqiyuddin an-Nabhani, Al-Nizhām al-Iqtishādī fī al-Islām, hlm. 219).

Ia menjelaskan, barang yang menjadi milik umum tidak terbatas hanya tiga barang yang tersebut dalam hadits itu –yakni air, padang rumput (termasuk hutan) dan api (termasuk energi seperti minyak, gas, listrik, batubara, dan lain-lain) melainkan juga semua barang tambang seperti emas, perak, tembaga, nikel, dan lain-lain.

Selain itu, Islam telah mengharamkan bahaya (dharar) dalam segala bentuknya, termasuk bahaya yang kemungkinan besar akan muncul dari pengelolaan tambang oleh ormas. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya:

Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri (dharar) dan bahaya bagi orang lain (dhirār)” (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan ad-Daraquthni).

Tiga Bahaya

Kiai Shiddiq menjelaskan ada tiga bahaya yang kemungkinan besar akan muncul jika pengelolaan tambang dilakukan oleh ormas. Pertama, keikutsertaan ormas mengelola tambang, akan melegitimasi pengelolaan tambang selama ini yang menyimpang dari syariah.

“Selama ini, tambang dikelola secara kapitalistik, yang oleh negara diserahkan kepada oligarki, baik oligarki nasional maupun oligarki internasional, sedemikian hingga hanya menguntungkan korporasi (pemilik modal) dan penguasa. Sedangkan rakyat tidak mendapat apa-apa, kecuali dampak buruk dari penambangan, baik dampak buruk berupa kerusakan lingkungan maupun dampak buruk berupa konflik sosial (konflik tanah dan sebagainya),” paparnya.

Seharusnya, lanjut Kiai Shiddiq, pengelolaan tambang ala kapitalisme yang destruktif selama ini dikritisi oleh ormas, bukan malah dilegitimasi oleh ormas dengan cara ikut-ikutan mengelola tambang. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya:

Barang siapa di antara kamu yang melihat sembarang kemungkaran, ubahlah itu dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, ubahlah dengan lisannya. Jika dia tidak mampu, ingkarilah dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman” (HR Muslim).

Kedua, keikutsertaan ormas mengelola tambang, akan memadamkan atau minimal meredupkan kritik (amar ma’ruf nahi mungkar) kepada penguasa.

Ia mencontohkan kemungkaran yang tidak dikritisi ormas, adalah ketika Presiden Jokowi memberikan hak pengelolaan tambang kepada ormas. Seharusnya ormas mengkritik kebijakan Jokowi ini, karena sebagai presiden tidak berhak menetapkan kebijakan itu, yakni negara tidak boleh memberikan sesuatu yang menjadi milik umum menjadi milik individu (swasta), sesuai dengan kaidah syariah yang berlaku umum:

“Setiap barang apa saja yang termasuk ke dalam milik umum (al-milkiyyah al-’āmmah), tidak boleh bagi negara untuk memberikan zat asalnya kepada seorang pun (menjadi milik individu/swasta)” (Taqiyuddin an-Nabhani, Al-Nizhām al-Iqtishādī fī al-Islām, hlm. 223).

“Tapi sayangnya, alih-alih mengkritik, ormas malah menerima tawaran batil dari Jokowi tersebut. Padahal bukankah ormas mendapat amanah dari Allah SWT untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, termasuk amar makruf nahi mungkar kepada penguasa?” sesalnya.

Kemudian, Kiai Shiddiq mengutip firman Allah SWT, yang artinya:

“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS Ali ‘Imran: 104).

Ketiga, keikutsertaan ormas mengelola tambang, akan memperbesar ketimpangan ekonomi di tengah masyarakat dan menyuburkan kecemburuan sosial, karena yang akan menikmati hasil tambang hanya petinggi dan jamaah ormas tertentu itu, bukan seluruh masyarakat. Padahal tambang adalah milik masyarakat secara umum, bukan milik ormas tertentu secara khusus.

“Islam dengan tegas telah melarang beredarnya harta kekayaan hanya pada orang-orang kaya saja yang secara eksklusif mempunyai akses untuk mendapat kekayaan, seperti hak pengelolaan tambang,” tegas Kiai Shiddiq kemudian mengutip firman Allah SWT, yang artinya:

“Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” (QS al-Hasyr: 7).” [] Rasman

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *