Pakar Fikih: Konsep Maqashidus Syariah Tidak Boleh Jadi Alasan Tolak Khilafah

Mediaumat.id – Konsep maqashid asy-syariah tidak boleh dijadikan alasan untuk menolak kewajiban khilafah.

“Konsep maqashidus syariah tidak boleh dijadikan alasan menolak wajibnya khilafah, dengan dalih usaha mendirikan khilafah dianggap bertabrakan dengan maqashidus syariah,” ujar Pakar Fikih Kontemporer sekaligus Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq al-Jawi, dalam Kajian Fikih: Benarkah Usaha Menegakkan Khilafah Bertentangan dengan Maqashidus Syariah? di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn, Jumat (17/2/2023).

Untuk diketahui, konsep dalam hukum Islam yang menerangkan bahwa syariah diturunkan Allah SWT untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu tersebut di antaranya memuat prinsip menjaga agama (hifzhu al-din), menjaga jiwa (hizfhu al-nafsi), menjaga akal (hifzhu al-’aql), menjaga keturunan (hifzhu al-nasl), dan menjaga harta (hifzhu al-mal).

Menurutnya, jika sampai terjadi mudharat, dampak dari ‘tabrakan’ dimaksud, ketika melaksanakan kewajiban syariah dalam hal ini penegakan khilafah misalnya, maka yang dilakukan semestinya bukan menolak atau menghapus kewajiban, tetapi menghilangkan mudharatnya.

Hal ini sebagaimana kaidah fikih yang berbunyi, ‘Segala macam bentuk kemudharatan (bahaya) wajib hukumnya untuk dihilangkan’.

Sebutlah jatuhnya korban jiwa atau melanggar prinsip menjaga jiwa, maupun timbulnya korban harta benda yang melanggar prinsip menjaga harta. “Yang wajib dilakukan adalah berusaha menghilangkan berbagai mudharat (dharar/bahaya) yang terjadi ini, bukan menolak atau menghapuskan kewajiban khilafahnya,” tegas Kiai Shiddiq.

Ini sama halnya dengan jika seseorang mengalami mudharat ketika mandi wajib (mandi junub), karena ada luka terbuka di tubuhnya. “Yang dilakukan bukan menghilangkan kewajiban mandi wajibnya, melainkan menghilangkan mudharatnya itu, dengan cara melakukan tayammum sebagai pengganti mandi,” tambahnya.

Demikian pula jika mengalami lutut nyeri ketika shalat sambil berdiri, maka, imbuh Kiai Shiddiq, yang dilakukan bukanlah menghilangkan kewajiban shalatnya, melainkan menghilangkan mudharatnya dengan cara shalat sambil duduk.

Serupa juga dengan kewajiban puasa Ramadhan dalam kondisi safar sehingga mengalami kepayahan atau kehausan. “Yang dilakukan bukanlah menghilangkan kewajiban puasanya, melainkan menghilangkan mudharatnya itu dengan cara membatalkan puasa dengan makan atau minum,” jelasnya.

Wajibnya Khilafah

Menurutnya, tidak ada perbedaan pendapat di antara kaum Muslim tentang kewajiban menegakkan kembali khilafah.

“Tidak ada perbedaan pendapat (khilafiyah) mengenai wajibnya imamah/khilafah di antara umat Islam dan di antara para imam/ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari al-Ashamm, yaitu nama seorang penolak wajibnya khilafah, yang dia itu memang ashamm yang berarti tuli/budheg dari syariah,” paparnya, mengutip keterangan dari Imam Al-Qurthubi dalam kitab Tafsir al-Qurthubi, Juz I, hlm. 264.

Bahkan, lanjutnya, imam mazhab yang empat pun telah sepakat mengenai wajibnya khilafah, sebagaimana penjelasan Syekh Abdurrahman al-Jauzairi, yang artinya:

‘Para imam (Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad) rahimahumullah, telah sepakat bahwa imamah (khilafah) itu hukumnya fardhu (wajib).’ (Abdurahman Al-Juzairi, Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-’Arba’ah, Juz V, hlm. 366, Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah).

Tak hanya imam mazhab yang empat yang merupakan ulama ahlussunah wal jama’ah, wajibnya khilafah, menurut Kiai Shiddiq, juga disepakati oleh golongan-golongan seperti Murji’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Syi’ah, dll.

Hal ini ditegaskan oleh Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al-Faslu fi Al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal, Juz III, hlm. 3. “Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji’ah, semua Syi’ah, dan semua Khawarij, mengenai wajibnya imamah (khilafah)…,” demikian kata Imam Hazm.

Maka berdasarkan penjelasan ini, Kiai Shiddiq menyebut sungguh lancang apabila masih ada yang berani menolak wajibnya khilafah, apalagi mengatasnamakan ulama.

“Tidak ada ulama yang menolak wajibnya khilafah, kecuali tidak akan diperhitungkan pendapatnya, karena pendapatnya telah bertentangan dengan ijma’ Sahabat, dan ijma’ para ulama yang muktabar dari kalangan ahlus sunnah wal jama’ah bahkan dari berbagai kalangan (golongan) di luar itu,” urainya.

Dengan demikian, meski di dalam melaksanakan kewajiban menegakkan kembali khilafah berdampak dipecat dari ASN misalnya, maka yang dilakukan selanjutnya bukan menghapuskan atau mengingkari kewajiban khilafah, melainkan mengatasi mudharat yang timbul dengan mencari pekerjaan lain di luar ASN.

Selain itu, apabila di dalam upaya tersebut lantas timbul konflik sosial atau pro kontra antara yang setuju dan menolak, maka yang dilakukan bukanlah menolak khilafah, tetapi berusaha meredam konflik sosial yang muncul.

Tak Seperti ISIS

Lantas menjawab kemudharatan yang timbul akibat upaya penegakan kembali khilafah oleh kelompok ISIS, Kiai Shiddiq menyampaikan, bahwa hal itu tidak dapat digeneralisasi untuk semua gerakan Islam yang memperjuangkan khilafah.

Meski membenarkan bahwa gerakan ISIS banyak menimbulkan mafsadat atau kerusakan di muka bumi, di antaranya banyak korban tewas, bahkan melansir situs nytimes.com (16/7/2016), angkanya mencapai kurang lebih 1.200 korban jiwa dalam kurun 23 September 2014 s.d. 14 Juli 2016, namun pertanyaannya, lontar Kiai Shiddiq, apakah semua harakah Islam yang memperjuangkan khilafah otomatis juga menimbulkan korban jiwa dalam langkah perjuangannya seperti ISIS?

“Jawabannya, tidak!” tegasnya.

Untuk dipahami, sambungnya, tidak semua harakah Islam pro khilafah tatkala memperjuangkan tegaknya kembali khilafah menggunakan jalan kekerasan (violence) atau perang (war) seperti ISIS.

Untuk itu, ia memaparkan, setidaknya ada tiga varian harakah Islam pro khilafah ditinjau dari segi jalan atau metode (thariqah) untuk menegakkan kembali khilafah. Pertama, harakah Islam yang menegakkan khilafah dengan jalan kekerasan/perang yang diyakini sebagai ‘jihad fi sabilillah,’ seperti ISIS, DI/TII/NII, dsb.

Kedua, harakah Islam yang menegakkan khilafah dengan jalan demokrasi, seperti Al-Ikhwanul Muslimun, FIS, Masyumi, dll. Ketiga, sebuah harakah Islam yang menegakkan khilafah tidak dengan jalan kekerasan/perang namun tidak juga dengan jalan demokrasi. Tetapi dengan jalan dakwah Islam.

“Jelas, (menyamakan dengan ISIS) ini merupakan generalisasi yang gegabah,” selanya, sembari menyimpulkan bahwa generalisasi semacam ini diharamkan dalam Islam. Pasalnya, berarti telah memfitnah harakah Islam nonkekerasan melakukan apa yang tidak pernah mereka lakukan sama sekali.

Sementara, Allah SWT telah mengingatkan manusia tentang ini di dalam QS Al-ahzab: 58, yang artinya: ‘Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang Mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh, mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.’

Terakhir, kembali Kiai Shiddiq menekankan, munculnya kemudharatan tidak dapat dijadikan alasan penolakan suatu konsep khilafah. “Jika munculnya kemudharatan dapat dijadikan alasan penolakan suatu konsep mestinya yang lebih layak ditolak adalah peradaban Barat bukan khilafah,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: