Pakar Ekonomi Syariah: Tak Ada Cara Lain Kecuali dengan Islam

Mediaumat.id – Agar fundamental ekonomi Indonesia menjadi kokoh, Pakar Ekonomi Syariah Dr. Arim Nasim mengatakan, tidak ada cara lain selain membangun sistem perekonomian dengan perspektif Islam.

“Tidak ada cara lain kecuali membangun ekonomi dengan perspektif Islam,” ujarnya dalam Kabar Petang: Antara Srilanka dan Optimisme Sri Mulyani, Selasa (28/6/2022) di kanal YouTube Khilafah News.

Hal itu ia kemukakan dalam rangka menanggapi sikap Menteri Keuangan Sri Mulyani yang meyakini bahwa Indonesia tidak akan bernasib sama seperti Srilanka dan Pakistan yang sedang mengalami krisis utang.

Secara makro, lanjut Arim menerangkan, ada beberapa indikator yang menunjukkan fundamental ekonomi suatu negara bisa dikatakan kokoh. Di antaranya pertumbuhan ekonomi positif, pendapatan negara yang tidak tergantung pada pajak dan utang, serta kemandirian dalam hal memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Terkait pertumbuhan ekonomi, ia menjelaskan, harusnya dibangun di atas sektor riil. Tidak di-backup oleh sektor masuknya modal melalui investasi tak langsung di pasar modal yang cenderung menciptakan pertumbuhan ekonomi semu. “Itu yang membuat seolah-olah ekonomi kita tumbuh,” timpalnya.

Artinya, pertumbuhan riil akan terjadi ketika tidak ada sektor ekonomi nonriil maupun bubble ekonomi atau gelembung spekulatif keuangan. Atau dengan kata lain, meski volume perdagangan besar tetapi terdapat harga yang sangat berbeda dengan nilai intrinsiknya.

Artinya pula, kondisi itu hanya bisa diwujudkan dengan penerapan sistem Islam. “Itu hanya terjadi ketika sistem yang digunakan itu adalah sistem ekonomi Islam yang mengharamkan riba sebagai pondasi ekonomi,” tuturnya.

“Indonesia, kalau menggunakan tumpuannya di sektor riil itu (Islam), akan baru fundamental ekonomi Indonesia akan sehat,” tegasnya menambahkan.

Selanjutnya sumber anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang tidak bersumber dari pajak dan utang. Maknanya, kalaulah selama ini kebijakan fiskal masih mengandalkan dari dua sumber tersebut, maka pemerintah harus mengubah kebijakan tersebut dengan mengelola sendiri sumber daya alam (SDA), misalnya.

“Indonesia kalau menggunakan syariah, saya kira besar dana yang bisa dihasilkan dari APBN ini, dari pengelolaan harta milik umum yang dikelola oleh negara,” urainya.

Sebagai gambaran buruknya, bebernya, pada tahun 1997-1998 atau sesaat sebelum krisis ekonomi berlangsung, sumber APBN Indonesia dari SDA dan pajak masih imbang. “Tetapi ke sininya itu jomplang. Delapan puluh persen lebih, dari pajak, dari utang. Baru sebagian kecil (sisanya) dari SDA. Itu pun dari pajaknya (juga),” ulasnya.

Di sisi lain, pembiayaan subsidi yang kata pemerintah telah membebani APBN, menurutnya tidaklah demikian. Tetapi justru pembayaran bunga utang. “Bunganya aja kan tahun ini saja Rp407 triliun,” ungkapnya, yang juga menyebut defisit APBN tahun ini saja diperkirakan Rp840 triliun.

Sehingga lagi-lagi, apabila menerapkan sistem ekonomi Islam, bunga bank sebesar itu tidak boleh dibayarkan. “Maka nanti ada yang fiskal yang sangat besar untuk membangun negara,” jelasnya.

Begitu pun dengan pembiayaan pembangunan infrastruktur yang menurut Arim, harus mampu memberikan efek besar bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Tak seperti sekarang ini, kebijakan pembangunan infrastruktur lebih kepada kepentingan para kapitalis ketimbang rakyat pada umumnya. Bahkan ujung-ujungnya banyak yang mangkrak.

“Yang janji awalnya tidak menggunakan dana APBN, lagi-lagi kemudian membebani APBN,” ucapnya, seraya menyayangkan proyek pembangunan infrastruktur yang sudah selesai, Bandara Kertajati di Jawa Barat misalnya, kini berfungsi sekadar tempat pra-wedding atau main-main lainnya.

Maknanya, kata Arim, enggak ada sama sekali dampak ekonomi makronya.

Kemudian, dari sisi kemandirian suatu negara. “Kita itu negara agraris. Semua pun bisa tumbuh dengan mudah. Tetapi ironisnya kita lihat, singkong aja sampai harus impor,” ungkapnya kembali menyayangkan.

Belum lagi mengenai neraca pembayaran Indonesia yang mengalami defisit, yang juga berarti, menandakan bahwa nilai impor lebih besar daripada nilai ekspor.

Padahal sebagaimana dipahami, jika suatu negara terus-menerus mengalami defisit maka sektor keuangan berjalan lambat sehingga pertumbuhan ekonomi pun sulit untuk berkembang.

Lantaran itu, ia menyebutkan, pembangunan-pembangunan ekonomi di negeri ini sebenarnya tidak mengarah kepada suatu penguatan fundamental ekonomi. Justru, semakin menjerumuskan kepada negara gagal.

“Kenapa? Karena kalau kita lihat tadi kan, semua diselesaikan dengan impor,” tandasnya.

“Impor, impor, tanpa mau kemudian berpikir untuk kemandirian,” imbuhnya.

Tak Berdaya

Di sisi lain, ia pun menyinggung tentang minyak sawit yang produsen terbesarnya saat ini adalah Indonesia. Namun, meski produksinya tinggi melebihi kebutuhan dalam negeri bahkan, ternyata hingga hari ini negara tak berdaya berhadapan dengan para kapitalis.

“Di level konsumen, itu minyak goreng tetap mahal. Berada di angka 24 ribu. Naik 100 persen dari sebelumnya 12 ribu rupiah (per liter),” bebernya lagi.

“Kenapa ini terjadi? Karena ada di sana liberalisasi pengelolaan sumber daya alam dengan prinsip kapitalismenya,” sambung Arim.

Sehingga apabila umat menginginkan fundamental ekonomi Indonesia kokoh, sekali lagi ia menekankan, sistem perekonomian negara harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan Islam.

“InsyaAllah pembangunan ekonomi bakal melahirkan fundamental ekonomi yang kokoh,” lugasnya.

Sebaliknya, selama berbasis ekonomi kapitalis, riba, serta ketergantungan terhadap impor, umat jangan sekali-kali berharap akan munculnya fundamental ekonomi kokoh. “Pasti keropos dan sangat rentan untuk terjadinya krisis,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: