Pakar Ekonomi: Selama Kapitalisme yang Diterapkan, Rapor Ekonomi Selamanya Merah

Mediaumat.news – Menyoroti kondisi ekonomi pemerintahan Jokowi sepanjang 2020, Pakar Ekonomi Syariah Dr. Arim Nasim, S.E., M.Si., AK menilai selama ekonomi kapitalis yang diterapkan maka nilai rapor ekonomi selamanya merah.

“Selama sistem ekonomi kapitalis yang dijadikan dasar dalam mengambil kebijakan ekonomi, maka selama itu juga, rapornya akan selamanya merah. Karena sistem ekonomi kapitalis tidak pernah berpihak untuk kepentingan rakyat,” tuturnya dalam acara Diskusi Online: 2020, Rapor Merah Jokowi? Ahad (27/12/2020) di kanal YouTube Media Umat.

Menurutnya, penguasa saat ini memanfaatkan kondisi pandemi dengan kebijakannya yang semakin kapitalis dan melabrak ketentuan-ketentuan kapitalis. “Indonesia lebih kapitalis dibandingkan dengan negara kapitalis. Bukti-bukti menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah di tengah situasi pandemi ini justru lebih kapitalis dibandingkan dengan negara kapitalis,” ujarnya.

Enam Bukti Lebih Buruk

Ia menilai jika nilai merah itu antara 1 sampai 5, maka sebaik-baik negara yang menerapkan sistem kapitalis itu nilainya 5. “Nah, ini sudah kapitalis, bahkan lebih buruk lagi. Maka, menurut saya nilai 3 itu sebenarnya ketinggian. Apa buktinya?” ujar Arim.

Ia pun menyebutkan enam poin bukti. Pertama, prestasi yang meroket di zaman Jokowi adalah utang yang peningkatannya luar biasa. Jadi bukan pertumbuhan ekonomi yang meroket, tapi utang luar negeri (ULN) dan juga utang dalam negeri. Di kuartal ketiga ULN sudah menyentuh US$ 413,4 milyar. Jika dirupiahkan, ULN mendekati 6000 trilyun. Utang pemerintah naik drastis. Indonesia menempati peringkat ke-7 hampir sama dengan negara Cina.

“Menariknya utang terbesar pemerintah berupa Surat Berharga Negara (SBN). Ini menunjukkan kepercayaan asing terhadap pemerintah semakin turun sehingga utang yang didapatkan pemerintah itu utang dalam negeri,” imbuhnya.

Dan lebih parahnya lagi, ia mengungkapkan pemerintah mengeluarkan kebijakan yang melanggar norma moneter internasional terkait peran Bank Indonesia (BI). Secara moneter internasional, BI tidak diperbolehkan membeli obligasi pemerintah di pasar perdana. “Ternyata pemerintah sudah mengubah aturan itu dengan Perppu nomor 1 tahun 2020. Dalam Perppu ini, menunjukkan semakin kapitalisnya Indonesia. Salah satu isinya, BI diperbolehkan membiayai defisit APBN melalui pembelian SUN di pasar perdana yang itu sebenarnya melanggar kebijakan moneter karena ini akan memperparah inflasi,” ujarnya.

“Di Perppu ini pemerintah tidak dianggap melanggar, kalau defisit APBN di atas minus 3 dari PDB. Dan yang ditetapkan pemerintah defisit itu adalah 6,34 persen. Sampai 30 November, sudah terealisasi sebesar 5,6 persen dari PDB. Selain itu, pejabat yang melaksanakan Perppu ini juga tidak bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana. Artinya seolah-olah korupsi atau penyalagunaan dana Covid-19 itu kemudian bisa ditolerir,” tambahnya.

Kedua, pemerintah mengeluarkan kebijakan menaikkan iuran BPJS di tengah pandemi. Ia melihat pemerintah mengeluarkan Perpres tahun 2020 dan memaksakan untuk menaikkan BPJS yang berlaku mulai bulan Juli, padahal sebelumnya Perppu 2019 ditolak oleh MK.

“Saya kira rakyat semakin terbebani. Walaupun untuk kelas tiga baru naik Januari 2021 nanti, namun kenaikannya sangat signifikan. Kelas 3, naik menjadi 42 ribu. Ini luar biasa zalim, di tengah masyarakat sedang kesulitan pandemi justru masyarakat dibebani dengan kenaikan iuran BPJS,” ungkapnya.

Ketiga, disahkannya UU Cilaka walaupun singkatannya diubah menjadi UU Ciptaker. Ia melihat UU ini seperti tik tok. Masih diketik sudah diketok. Belum tahu isinya seperti apa, tapi sudah disahkan.

“Dari sisi namanya ini kebohongan publik. UU Ciptaker ini tidak tepat penamaannya. UU ini lebih tepat dinamakan UU Cipta Investasi. Karena semua regulasi di dalamnya itu menguntungkan para kapitalis. Di belakangnya itu, saya kira ada para kapitalis sehingga tik tok. Buktinya bahwa UU itu pesanan kapitalis, ketika disahkan 2 November, maka pertama kali yang menikmati UU ini adalah PT Arutmin. PT Arutmin, perusahaan batubara itu sudah habis kontraknya pada tanggal 2 November dengan menggunakan PKP2B. PT Arutmin harus menyerahkan pengelolaan tambang batu bara yang luasnya 50 ribu hektare lebih ke pemerintah. Tapi dengan disahkannya UU ini maka pada saat itu juga 2 November, PT Arutmin mendapat perpanjangan dalam bentuk izin usaha khusus pertambangan. Dan itu tidak tanggung-tanggung luasnya 50 ribu hektare lebih,” bebernya.

“Dalam UU Cilaka ini juga pemerintah mengeluarkan kebijakan khusus pada perusahaan batu bara. Perusahaan yang melakukan hilirisasi batu bara maka diberikan keringanan dalam bentuk royalti 0 persen. Jadi, tidak perlu memberi royalti pada negara. Ini kan sangat enteng banget. Dan sangat menguntungkan kapitalis. Sementara rakyat dapat apa? Royalti 0 persen. Ini luar biasa zalim. Padahal gampang saja mereka mengatakan, kami sedang melakukan hilirisasi. Berarti royalti yang diberikan perusahaan kepada negara itu 0 persen,” tambahnya.

Keempat, Terkait dengan pajak yang semakin ditingkatkan termasuk juga transaksi-transaksi elektronik yang selama ini bebas pajak itu sekarang kena pajak. Menurutnya, ini kebijakan yang ironis.

“Di satu sisi sumber daya alam milik umum yang harusnya dikelola negara untuk kepentingan rakyat justru diberikan sebebas-bebasnya untuk dieksploitasi dan dijarah oleh swasta. Pada saat yang sama negara mengambil pajak dari rakyat untuk membiayai APBN ini selain dari utang. Inikan sebuah kezaliman,” ujarnya.

Kelima, ada kebijakan diam-diam yang tidak mengundang reaksi yakni isu penghapusan premium.

“Ini sebenarnya kenaikan BBM. Isu premium dihapus mulai efektif 1 Januari 2021. Walaupun perlu dicek apakah berita ini hoaks atau tidak? Tapi yang jelas fakta yang saya rasakan, sudah 2 bulan terakhir premium sudah tidak ada. Petugas pom bensin mengatakan sudah tak ada pasokan,” ungkapnya.

“Inikan kenaikan harga sebenarnya. Cuma masyarakat tidak sadar bahwa itu kenaikan harga. Mereka dialihkan yang tadinya pakai premium menjadi pertalite. Ini tidak disadari dan juga akan semakin memperberat kondisi ekonomi masyarakat,” imbuhnya.

Terakhir, dulu ketika Jokowi akan naik jadi presiden pernah mengatakan, “Di kantong saya ini sudah ada nama pengusaha yang menyimpan uangnya di luar negeri sebesar 11 ribu triliun. Itu dana yang sangat luar biasa. Secara regulasi internasional sudah ada MLA yakni pemerintah negara lain bisa saling bertukar informasi untuk memburu dana-dana yang mangkir di luar negeri. Tapi hingga kini mungkin karena kuatnya dominasi kapitalisme, tidak ada kebijakan yang dilakukan pemerintah. Itu sekadar hanya PHP saja.

“Justru yang terjadi tahun 2018 dengan adanya MLA ini yang diuntungkan kapitalis lagi. Mereka mendapat tax amnesty atau pengampunan pajak,” ujarnya.

Jadi, ia menilai dari sudut ekonomi dengan indikator-indilator di atas maka ia melihat 2021 kondisi ekonomi akan semakin parah dan lagi-lagi yang akan mendapat beban yang berat adalah masyarakat secara umum karena pasti APBN sudah defisit lagi.

“Apalagi Covid-19 bukan mereda bahkan semakin mengganas dan seolah-olah pemerintah memanfaatkan kondisi ini yakni mengambil kesempatan dalam kesempitan sehingga penggunaan uang APBN semakin bebas dan tidak terkendali dan pada akhirnya rakyat akan dihadapkan pada kesulitan,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini: