Pakar Ekonomi Islam Ini Sebut Empat Pilar Kerusakan Sistem Kapitalisme

Mediaumat.id – Pakar Ekonomi Islam H. Dwi Condro Triono, Ph.D. menyebut empat pilar kerusakan sistem kapitalisme sebagaimana yang dibahas dalam buku Kritik terhadap Pemikiran Barat Kapitalis (Nahdhu al-Fikril Gharbi ar-Raksumaliyyah mabdaan wa hadharatan wa tsaqafah).

“Selanjutnya dalam buku ini ditunjukkan dengan jelas bagaimana kerusakan sistem kapitalisme itu bisa muncul dari pemikiran-pemikirannya,” ujarnya dalam acara Menggugat Kapitalisme: Peluncuran Buku Kritik Pemikiran Barat Kapitalis, Sabtu (25/12/2021) di kanal YouTube Khilafah Channel.

Pertama, pandangan terhadap materi ekonomi. Dwi Condro mengatakan, menurut pemikiran kapitalisme, kebutuhan hidup manusia itu bisa dipenuhi dengan dua bentuk materi yaitu barang dan jasa. Kebutuhan menurut ekonomi kapitalis itu disamakan dengan keinginan. “Nah ini fatalnya di situ, padahal antara kebutuhan dan keinginan jelas beda,” ungkapnya.

Menurutnya, keinginan itu tidak bisa membedakan antara kebutuhan yang bersifat pokok dengan kebutuhan yang bersifat pelengkap. Keinginan juga tidak bisa membedakan mana barang-barang atau materi yang bermanfaat dengan materi yang bersifat mudharat.

Jadi, lanjut Dwi Condro, manfaat dari barang itu dinilai dari manusia yang mengkonsumsinya saja, tidak ada pandangan apakah ini membahayakan masyarakat atau tidak. Seperti khamar itu membahayakan masyarakat atau tidak, selama manusia itu membutuhkan maka itulah yang disebut barang ekonomi atau materi ekonomi.

“Pelacuran itu jasa yang membahayakan atau tidak, mereka tidak peduli yang penting itu adalah kebutuhan manusia akan materi ekonomi. Ini yang membuat rusak, tidak bisa membedakan mana yang baik dan tidak. Semua didasarkan pada kebutuhan dan keinginan manusia secara pribadi,” ucapnya.

Kedua, kebebasan kepemilikan. Dalam ekonomi kapitalisme, individu harus dijamin kebebasannya dalam memiliki, menguasai dan mengembangkan kekayaannya. Negara tidak boleh mengintervensi, tugas negara adalah membuat regulasi, membuat undang-undang hanya untuk melindungi agar individu- individu atau swasta masih bebas memiliki, menguasai dan mengembangkan kekayaannya.

Tapi Dwi Condro melihat, yang terjadi adalah penguasa atau negara hanya menjamin kebebasan individu atau kelompoknya saja dalam menguasai modal, aset-aset produksi dan keuntungan. Sehingga seluruh harta kekayaan hanya dikuasai oleh satu persen orang saja.

Ketiga, proses produksi hanya diartikan penciptaan barang dan jasa yang berkontribusi terhadap manfaat individu saja. Dalam ekonomi kapitalisme, produksi hanya dibatasi hanya yang memiliki manfaat bersifat ekonomis atau material yang bisa dijual saja. Ekonomi kapitalisme tidak pernah melihat manfaat secara moral, sosial dan spiritual.

Dwi Condro menilai, dalam ekonomi kapitalis yang disebut ekonomi itu adalah yang bisa menghasilkan uang, maka banyak sekarang wanita-wanita, ibu-ibu rumah tangga itu malu bekerja di rumah menjadi ibu rumah tangga, sebab dianggap tidak memberikan manfaat secara ekonomi, yaitu tidak menghasilkan uang,

“Akhirnya semua harus keluar rumah, semua harus berkompetisi untuk meraih produksi, yang disebut produksi adalah yang menghasilkan uang. Ini adalah yang menghancurkan tatanan ekonomi,” bebernya.

Keempat, problem ekonomi hanya dipandang sebatas masalah kelangkaan saja. Kapitalisme memandang kebutuhan manusia tidak terbatas, sementara sarana pemenuhannya terbatas, sumber dayanya terbatas.

Menurutnya, ini adalah pandangan yang menggeneralisir kebutuhan manusia. Ia mengatakan bahwa kebutuhan manusia itu bisa dibedakan antara kebutuhan pokok dan kebutuhan pelengkap. Kebutuhan pokok itu dari dulu terbatas, misalnya makan dan minum. Sedangkan yang tidak terbatas itu kebutuhan pelengkap, sebab seiring dengan keinginan manusia. Sehingga ini dimanfaatkan oleh para kapitalis dengan cara memunculkan kebutuhan-kebutuhan semu yang mendorong perilaku konsumerisme dan akhirnya dikendalikan oleh kaum kapitalis. Akhirnya fokus kapitalisme hanya di produksi saja.

“Sehingga yang disebut keberhasilan ekonomi adalah pertumbuhan secara agregatif disebuah negara, bukan masalah selesaianya urusan kebutuhan pokok,” pungkasnya.[] Agung Sumartono

Share artikel ini: